NAIKNYA INTOLERANSI YANG MERUGIKAN ORMAS BESAR ISLAM
Penulis : Andi Salim
Di indonesia terdapat lima organisasi kemasyarakatan Islam yang paling dikenal di kalangan masyarakat Indonesia, kelima organisasi itu ialah Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Front Pembela Islam, Lembaga Dakwah Islam Indonesia, dan Hizbut Tahrir Indonesia. Namun jika dilihat dari sisi jumlah pengikutnya, maka NU dan Muhammadiyah adalah dua ormas yang paling besar dan memiliki jaringan diseluruh tanah air. Keanggotaan dua ormas besar islam ini, diprediksi jumlah yang sangat besar, sebut saja ormas NU memiliki anggota mencapai 91,2 juta, serta anggota Muhammadiyah tercatat mencapai 60 juta orang berdasarkan survey LSI tahun 2019 lalu.
Adapun ormas islam lainnya, selain sudah dibekukan oleh perintah, namun pengikutnya boleh dibilang tidak melebihi 7 juta bahkan masih lebih kecil dari angka tersebut, sehingga keberadaannya nyaris di kota-kota besar dan wilayah tertentu saja. Akan tetapi, walau pengikutnya terbilang kecil dan keberadaan ormas tersebut telah dibekukan oleh pemerintah, tidak berarti mereka menghentikan aktifitasnya. Hal itu terlihat begitu masifnya gerakan ini hadir diberbagai kesempatan khususnya di ruang media sosial yang secara terbuka bisa ditemukan dan secara mudah untuk dikenali.
Dengan berbagai cara dan alasan ormas ini tetap bertahan dan menyuarakan tujuannya, termasuk menggunakan strategi politik identitas yang dikemas demi memenangkan figur politikus yang akan mendukung mendapatkan legalitas pergerakannya kembali. Sasaran yang mereka lakukan tentu bertujuan untuk membingungkan masyarakat atas 3 golongan besar islam menurut penulis, pertama kelompok yang ingin menggunakan islam sebagai kendaraan politiknya, kedua kelompok penegakkan khilafah yang ingin menggantikan sistem konstitusi negara, ketiga persaingan diantara ormas islam yang sudah sejak lama terjadi.
Ormas-ormas islam itu sebenarnya membentuk 3 faksi besar yang kuat yaitu, NU, Muhammadiyah dan ormas-ormas lain yang tergabung di dalam MUI. Namun pada sisi lain, kelompok Intoleransi ini sering mengatasnamakan ormas besar islam seperti NU dan Muhamadiyah ditengah masyarakat sehingga mengecohkan yang mana dan dari kelompok mana ulama tersebut berasal, sebab ajakan intoleransi yang menggerakkan politik identitas tidak pernah sekalipun dilontarkan baik oleh kubu NU maupun Muhammadiyah di berbagai kesempatan dari pernyataan para tokoh-tokohnya yang secara resmi menyampaikan hal tersebut. Tentu saja dampak ini merugikan ormas besar islam tersebut.
Tujuan gerakan politik identitas ini tentu berusaha mengganti Pancasila sebagai ideologi negara serta menghilangkan budaya nusantara demi punahnya nasionalisme bangsa, serta memecah belah persatuan dan kesatuan didalam kerangka NKRI dimana setelah itu mereka akan menggeser kekuasaan konstitusi kita dengan dalih agama secara sepihak. Apalagi masyarakat islam pun saat ini telah dibuyarkan atas ulama-ulama mana yang sebenarnya semazhab dan segolongan dengan aliran yang sejak turun temurun dianutnya sebagai identitas pribadi masing-masing. Bukankah para anggota NU hanya mengikuti ulama NU dan begitu pula terhadap pengikut Muhammadiyah.
Sulitnya masyarakat membedakan tokoh islam yang sesuai dengan paham yang dianutnya menciptakan krisis kepercayaan pada organisasi yang di ikutinya. Bahkan hal tersebut pada akhirnya akan berdampak pada surutnya keanggotaan NU dan Muhammadiyah yang lambat laun akan menjadi problem serius bagi dinamika internal perkembangan organisasi ini. Oleh karenanya, pemerintah semestinya melakukan pembedaan atas tokoh-tokoh, mimbar-mimbar dan majelis-majelis dari golongan mana mereka tersebut berasal, sehingga gumpalan ini terurai secara jelas dan tegas, agar masyarakat menjadi paham kepada siapa dan dari golongan mana seharusnya di ikuti oleh mereka.
Sejak dahulu sebenarnya sudah bukan rahasia lagi jika penegasan pada persoalan ini sudah terjadi, sehingga masyarakat paham bahwa golongan ulama syiah hanya untuk pengikut syiah semata, sedangkan golongan ahlussunnah pun hanya untuk golongannya pula. Sehingga fakta ini mempertegas keberadaan masing-masing yang terlihat bagaikan dua kelompok yang secara terang benderang menjadi berbeda namun tetap harmonis keberadaannya tanpa harus menyudutkan satu dengan lainnya. Apalagi disadari bahwa sasaran politik identitas itu mengarah pada kelompok islam nusantara, nasionalisme budaya dan kelompok non muslim yang nyata-nyata gerakan itu bukanlah berasal dari NU dan Muhammadiyah.
Kondusifitas suatu organisasi harus mempertegas diri serta tujuannya, mereka tidak boleh meminjam tangan orang lain untuk menciptakan kekeruhan ditengah masyarakat saat ini, aktifitasnya pun mesti menampakkan kearah mana dan dengan tujuan apa gerakan mereka diaktualisasikan. Walau NU terafiliasi dengan PPP dan PKB, serta Muhammadiyah yang terafiliasi dengan PAN, namun tidak berarti mereka melakukan politik praktis sebagaimana pernyataan mereka diberbagai kesempatan disampaikan oleh organisasi ini secara tegas. Lalu pertanyaannya, dari golongan mana politik identitas itu dikumandangkan sehingga masyarakat dibuat bingung atas ajakan mereka yang semakin memecah belah bangsa ini.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar