NEGARA TIDAK BOLEH MENJADI MEDIA EKTREMISME, RADIKALISME DAN INTOLERANSI
Penulis : Andi Salim
Indonesia mengalami penjajahan sejak tahun 1511, dimana Portugis adalah bangsa Eropa pertama yang datang ke wilayah Asia untuk melakukan perdagangan. Maka pada tahun 1512 melalui perdagangan itu mereka menguasai Malaka, Ternate dan Madura. Setelahnya pada tahun 1596 dimana untuk pertama kali bangsa Belanda menginjakkan kakinya di Nusantara sebagai penjajah kedua. lalu penjajahan ketiga dilakukan oleh Inggris di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles berhasil merebut seluruh kekuasaan Belanda di Indonesia, yang ditandai dengan Perjanjian Tuntang sekitar tahun 1811 hingga 1816. Dan setelahnya penjajahan Jepang selama 3 tahun antara 1942 hingga 1945.
Walau setelah Proklamasi tersebut, Belanda mencoba menginvasi Indonesia, namun perlawanan bangsa Indonesia berhasil menggagalkannya. Maka persiapan kearah konstitusi negara pun mulai dibentuk, melalui sidang pertama BPUPKI, Pancasila sebagai ideologi bangsa pun dikemukakan oleh Ir. Soekarno tanggal 1 Juni 1945, yang kemudian disahkannya Undang Undang 1945 sebagai konstitusi melalui Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehari setelah kemerdekaan, yaitu pada 18 Agustus 1945. Lalu setelah itu Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dinyatakan sebagai falsafah bangsa Indonesia pada tanggal 15 febuari 1950 saat sidang Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dipimpin Bung Hatta.
Berbagai ujian dan rong-rongan bukan hal yang tak jarang terjadi. Keberadaan 4 pilar bangsa sejak pasca kemerdekaan pun menjadi tantangan tersendiri, walau terhadap bangsa lain kita mampu menyingkirkannya, akan tetapi berbeda dengan politik transnasional yang belakangan ini semakin menekan dan menyusup kearah pergeseran paradigma kebangsaan. Polanya apalagi kalau bukan arah politik kita yang sengaja disusupi, sehingga pergerakannya lebih kepada bagaimana agar menyusup diberbagai organisasi keagamaan yang terlihat menjadi 3 faksi terkuat, yaitu NU, Muhammadiyah dan MUI. Sebab hanya merekalah sumber aspirasi dan inspirasi untuk memperoleh bagaimana menguasai umat atau bangsa indonesia yang 90% beragama islam.
Kerangka pergerakan pun dimulai dari benang merah untuk menarik sisi kesamaan yang dikedepankan agar kebangkitan islam begitu terasa dampaknya, maka strategi kekuatan ekonomi pun dibentuk, Sebab tanpa itu perjuangan akan terasa lemah. Maka politik syariah pun dikembangkan, termasuk pendirian Bank Syariah yang bertaburan melalui penerapan keharusan atas setiap bank konvensional untuk mendorong keberadaannya. Walau secara logika, naiknya bank syariah itu lebih disebabkan kebijakan pemerintah yang memberikan keleluasaan terhadap dalam menyalurkan kredit kepada masyarakat dengan bagi hasil yang sebenarnya relatif tinggi bila dibandingkan bunga bank Konvensional dari sisi pemberlakuannya.
Sehingga penerapan semacam itu di imbangi dengan upaya demi menyedot setiap pemohon kredit KPR dan Modal usaha melalui strategi kemudahan dalam memperoleh kreditnya dari penyaluran bank syariah tersebut. Maka BSI pun dibentuk agar go Internasional dan menjadi Bank Syariah terbesar di dunia. BSI merupakan bank hasil merger antara PT Bank BRI Syariah Tbk, PT Bank Syariah Mandiri dan PT Bank BNI Syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi mengeluarkan izin merger tiga usaha bank syariah tersebut pada 27 Januari 2021 melalui surat Nomor SR-3/PB.1/2021. Selanjutnya, pada 1 Februari, Presiden Joko Widodo meresmikan kehadiran BSI. Dengan total PT Bank Syariah Indonesia Tbk saat ini tercatat Rp 271,29 triliun di Kuartal I 2022.
Secara pribadi saya pun sebenarnya menyukai keberadaan bank syariah tersebut. Namun dibalik itu tidakkah kita bertanya, ada apa dengan sikap pemerintah melalui penerapan kebijakannya, apakah negara mulai hadir untuk membeda-bedakan antara bank konvensional yang sejak dahulu pernah disebut haram dalam sistem penerapannya yang disebut menerapkan bunga / riba dalam pemberlakuannya. Sehingga perlunya kehadiran negara untuk larut pada kondisi pembelahan semacam ini. Bahkan dalam hal keberadaan bank syariah ini pernah mendapat kritik dari Buya Syakur, dimana menurutnya penerapan bank konvensional tidak menyalahi aturan agama dan dirasakan meringankan beban umat. Tidakkah fakta ini mencengangkan kita semua selaku masyarakat Indonesia.
Terlihat jika netralitas negara mulai goyah, dan kekhawatiran semakin dikedepankan atas munculnya ideologi transnasional. Namun dari sisi yang berbeda pemerintah begitu asik mendukung upaya-upaya untuk memberikan pengakuan dan legitimasi terhadap kelompok mayoritas meskipun penulis juga bagian dari itu semua. Akan tetapi, keadaan ini tentu saja berbenturan dengan azas keadilan dan pemerataan bagi semua golongan, sehingga atmosfer intoleransi dan iklim persatuan serta kesatuan semakin terasa diusik dari berbagai aspek, termasuk penerapan kota-kota Syariah dan pariwisata syariah yang saat ini disuarakan diberbagai wilayah di Indonesia. Apalagi dibalik itu, disparitas sosial dan ekonomi masih menganga dan belum juga tuntas hingga saat ini.
Jika memang kita bangsa yang besar dan memiliki peradaban yang terdepan dibalik sejarah panjang dari literasi kerajaan yang pernah ada, sesungguhnya istilah mayoritas dan minoritas itu tidak lagi perlu diungkapkan, apalagi mendeskreditkan golongan-golongan lain yang semakin pilu untuk menampar NKRI pada sisi persatuan dan semboyan Kebhinnekaannya. Sikap negara harus tegas dan tetap pada sisi netralitasnya yang tidak boleh bergeser dan tergeser oleh kepentingan apapun yang menyelimutinya. Sebab semua golongan, suku, adat istiadat, bahkan agama apapun, akan tetap bergantung pada sikap netralitas pemerintah yang menjadi tumpah darah satu dan bertanah air satu yaitu INDONESIA.
Disamping itu, keberadaan nasionalisme kebangsaan yang terlihat semakin surut akibat terlantarnya Budaya yang ditinggalkan dari tradisi beragama yang konservatif dibalik fanatisme yang memahami agama secara dangkal. Sebab tak jarang ketika mereka sebut itu Agama, namun sesungguhnya itu hanyalah aliran, lalu disampaikannya jika itu ada di dalam Kitab Suci, akan tetapi menurut penulis itu hanyalah kekeliruan Tafsir, dan jika pun mereka katakan itu dalil dari kitab-kitab yang ada, akan tetapi pihak lain menyebutnya sebagai kemampuan akal yang menyesatkan. Sehingga batasan atas bagimu agamamu dan bagiku agamaku tidak mereka cerna sebagai hal agar mereka tidak menganggu orang lain untuk memperlihatkan sisi Toleransinya, namun sebaliknya mereka gunakan dalam pemahaman kebencian terhadap golongan lain semata.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
ini blog khusus untuk tulisan-tulisan dari Bapak Andi Salim, seorang tokoh toleransi di wilayah Gunung Sindur Rawa Kalong Bogor, sangat bagus untuk bacaan-bacaan opini dari beliau
Senin, 20 Februari 2023
NEGARA TIDAK BOLEH MENJADI MEDIA EKTREMISME, RADIKALISME DAN INTOLERANSI
25/05/2022
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH
TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...
-
15/10/2022 BENTURAN KEPENTINGAN MENCIPTAKAN PERBEDAAN Penulis : Andi Salim Siapa yang tidak ingin sama dalam segala hal, terutama bagi pasa...
-
13/08/2022 INDONESIA DITENGAH PUSARAN KRISIS GLOBAL YANG MENGHANTUI DUNIA Penulis : Andi Salim Jika ingin menguasai suatu negara, cara yang ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar