PEMERINTAH SEMESTINYA TIDAK BERHUTANG JIKA HANYA UNTUK MENAMBAL KEKURANGAN APBN SEMATA
Penulis : Andi Salim
Persoalan utang pemerintah sering menjadi polemik dan isu yang seksi untuk dibicarakan serta membangun peluang kritik dari oposisi dalam menyampaikan pendapatnya, bahkan tak jarang mereka semakin membabi buta ketika menyampaikan opini yang sebenarnya tidak tepat. Walau berdasarkan ketentuan Undang-Undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, batas maksimal rasio utang pemerintah adalah 60 persen terhadap PDB. Itu artinya, rasio utang yang diperkenankan UU tidak boleh melampaui 60 persen dari yang diperkenankan. Namun anehnya, belum mencapai 40 persen saja, masyarakat digiring pada opini yang menyudutkan pemerintah sehingga dianggap gagal dalam mengelola negara ini.
Sejak jaman orde lama, orde baru serta era reformasi, utang luar negeri menjadi solusi bagi defisit anggaran belanja negara Indonesia, puncaknya Indonesia pernah menamgalami krisis ekonomi pada tahun 1998 di era orde baru yang nyaris melumpuhkan sendi-sendi ekonomi bangsa ini. Walau cara itu terus terjadi, namun bisa dipastikan hanya dengan cara ini pulalah Indonesia mengalami pemulihan ekonomi hingga era kekuasaan SBY Indonesia mengalami peningkatan APBN yang nyaris menundukkan hutang luar negeri Indonesia. Sebab betapa tidak, aset pemerintah dan BUMN yang kita miliki, memang menampakkan nilai yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Banyak negara yang mengalami kebangkrutan dari cara mereka berhutang, namun ada banyak pula dari suatu negara yang hanya mengandalkan perolehan income negaranya dari cara mereka yang melakukan investasi dari solusi hutang negaranya hingga ratusan persen dari PDB negaranya. Fakta ini memperlihatkan bahwa UU kita hanya melihat hutang sebagai mekanisme konsumtif bukan produktif layaknya suatu modal investasi atau modal kerja. Sehingga pembatasan hutang yang dipatok sebesar 60 persen adalah angka yang tidak lagi relevan untuk diberlakukan. Disinilah perlunya pemikiran kalangan ekonomi kita untuk di upgrade agar sesuai dengan keadaan diluaran sana.
Kesalahan berhutang sering terjadi manakala hutang yang diperoleh menyalahi tujuan penggunaannya. Sebut saja ketika kita berhutang pada rencana untuk membangun suatu usaha, namun pada sisi penggunaannya, hutang tersebut justru dipakai sebagai pemenuhan konsumsi rumah tangga, sehingga beban pengeluaran rutin menjadi membengkak yang pada akhirnya berpotensi gagal bayar oleh karena gaji / pendapatan semakin tertekan dari bertambahnya pengeluaran rutin setiap bulannya. Kondisi yang sama pun dapat saja dialami oleh suatu negara, manakala penggunaan hutang pemerintah itu justru habis di konsumsi atas belanja negara khususnya kenaikan gaji ASN atau pembiayaan rapat-rapat pemerintah.
Pada posisi demikian, tentu hanya sisa dari anggaran itulah yang menjangkau sektor riil dari selisih penggunaan anggaran yang menjadi instrumen pemerintah saat ini. Apalagi dalam kebijakan pemerintah kita, belum terbiasa dengan hal-hal yang bersifat piutang kecuali dalam hal-hal tunggakan pajak dan pungutan resmi lainnya yang langsung berdampak pada pendapatan negara, artinya segala aktifitas untung rugi dari suatu proses ekonomi tidak menyentuh pada penyelenggaraan pemerintah yang hanya fokus pada penggunaan anggaran saja. Sedangkan aktifitas untung rugi dari faktor kegiatan ekonomi tidak diperkenankan kecuali melalui Badan Usaha Milik Negara yang saat ini sudah tersedia.
Sehingga ketajaman pada kemampuan mengembalikan hutang pinjaman nyaris mengandalkan tiga sektor yang menjadi sumber pendapatan negara, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Ketiga sumber pendapatan itu adalah sumber pendapatan pajak, sumber pendapatan bukan pajak, dan sumber pendapatan hibah yang berasal dari luar negeri. Hampir 80 persen perolehan APBN kita bersumber dari pajak. Begitu pula dengan Pemda yang mendapatkan pembagian hasil pajak dalam bentuk dana desa, dana alokasi umum, dana alokasi khusus, serta insentif daerah. Ada pun perolehan dari PNBP belum secara optimal menghasilkan sebagaimana yang diharapkan. Untuk itulah perhatian pemerintah semestinya lebih fokus kearah sektor yang satu ini.
Perubahan cara pandang serta strategi peruntukkan hutang era jokowi menciptakan peluang investasi sekakigus menjangkau harapan masyarakat untuk meraih kesejahteraannya. Multi efek serta side efek yang menyertai pembangunan infrastruktur diberbagai kawasan secara otomatis menaikkan harga dasar tanah yang menjadi satu-satunya andalan rakyat dalam meraih peluang usaha serta akses permodalan yang selama ini terpendam. Disamping geliat fluktuasi ekonomi hasil pertanian dan perkebunan serta industri kreatif yang menyertai semua itu. Sehingga pasar dan pertumbuhan ekonomi semakin terbuka oleh karena akses barang dan manusia tidak lagi terisolasi untuk mudah dijangkau oleh siapapun.
Dalam strategi ekonomi, memperoleh hutang merupakan sarana untuk mendatangkan keuntungan dari selisih kewajiban bunga atas hutang setelah dikurangi profit usaha dalam suatu periode tertentu. Artinya laba bersih yang dihasilkan dapat terjadi setelah dikurangi beban bunga atas hutang pokoknya. Fakta ini tentu mempengaruhi atas tersedianya infrastruktur saat ini yang berakibat naiknya permohonan modal kerja serta modal investasi masyarakat. Sehingga tak heran jika ketersediaan sarana penyediaan modal kredit masyarakat meningkat secara tajam. Hal ini harus menjadi pemikiran pemerintah dalam mencermati persoalan ini agar kegiatan ekonomi mikro kecil dan menengah dapat segera bangkit dalam waktu dekat ini.
Cara ini pun disikapi oleh berbagai negara-negara maju khususnya G7 untuk menanamkan investasi mereka sekalipun modal yang di investasikan pada negara tujuannya, diperoleh dari hutang negaranya kepada bank dunia atau lembaga keuangan lain di dunia. Maka kita dapat melihat pada fakta yang terjadi bahwa hutang negara mereka jauh melampaui PDB rakyatnya, bahkan melebihi 100 persen dari kemampuan daya beli masyarakatnya. Sebut saja Amerika serikat yang mencapai 400 persen dari PDB rakyatnya, dan Jepang yang mencapai 250 persen dari PDB mereka. Lalu, kenapa rakyat kita begitu heboh dengan rasio hutang untuk disandingkan dengan PDB Indonesia.
Dari fakta ini terlihat jelas, betapa politik anggaran negara kita hanya bertumpu pada strategi defensif semata, sementara negara-negara lain sudah begitu maju dalan hal mensiasati hutang luar negerinya yang sangat offensif mendatangkan income negaranya dari cara mereka berhutang. Kita semua memang membutuhkan keamanan, namun disisi yang berbeda masyarakat pun membutuhkan kecepatan guna memperoleh kesejahteraannya. Dari situasi ini, tidakkah UU kita sudah sangat usang dan tertinggal jauh dari akselerasi ekonomi dunia yang begitu terbuka dan memerlukan penyesuaian. Tulisan ini sekedar opini saja, sekiranya anda suka silahkan direnungkan, namun jika tidak tentu anda hanya perlu menskipnya saja.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar