PERLUNYA SIKAP YANG BIJAKSANA DALAM MERESPON INFORMASI GLOBAL
Penulis : Andi Salim
Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik. Suatu informasi dapat dengan mudah dicari dengan bantuan media sosial seperti Google atau mesin pencari lain. Bahkan apa yang tersedia di internet kadang tak perlu dicari. Mereka datang sendiri melalui media sosial. Begitu mudahnya mendapatkan informasi tersebut tentu dirasakan semua pihak yang secara gratis dapat diperolehnya.
Namun informasi yang datang tersebut perlu disikapi secara arif dan bijaksana, sebab tak sedikit pula informasi tersebut yang menyesatkan dan merasuki kalangan awam yang dengan mudahnya menjadikan informasi tersebut sebagai unsur yang valid dalam mengambil sikap untuk selanjutnya dijadikan dalil-dalil argumentasi sehingga disebarkan kepada pihak lain yang menyesatkan. Apalagi terkait isu-isu strategis yang bersifat politis, maka informasi yang keliru tentu menjadi hal yang sengaja dikembangkan oleh pihak tertentu demi membangun keberpihakkan atas upaya mereka untuk menciptakan kekisruhan dan paling tidak menimbulkan dampak ketidak seimbangan dikalangan masyarakat luas tentunya.
Ada yang sengaja menyebarkan informasi dari kalangan tertentu yang bertujuan untuk membenarkan suatu tindakan dan perilaku kelompoknya bagi upaya pelemahan atas suatu nilai-nilai yang telah tertanam ditengah masyarakat kita, bahwa bangsa indonesia sesungguhnya membangun sikap nasionalisme yang baik bagi kecintaannya terhadap tanah air dan NKRI ini, justru dibuyarkan pada etos keagamaan melalui pemikiran yang konservatif atau malah cenderung membangun fanatisme beragama secara berlebihan, sehingga generasi muda kita tidak lagi mampu bersikap toleransi terhadap perbedaan yang ada.
Pandangan yang disudutkan kepada nilai-nilai kerohanian yang secara ekstrem ditanamkan, tentu saja pada akhirnya meluluh lantakkan pada aspek kemanusiaan, sehingga apa-apa yang menjadi perbedaan tidak lagi dimungkinkan untuk di adopsi sebagai kebhinekaan demi mengikatkan diri pada persatuan atas bangunan khasanah kebangsaan yang seutuhnya menjadi keunikan masing-masing. Bahkan semangat untuk ajakan tersebut mereka salurkan melalui berbagai media sosial yang tersedia, seperti facebook, tweeter atau instagram yang saat ini lebih dominan dimanfaatkan sebagai ajang untuk membangun dan menyebarkan pesan maupun wacana-wacana kebencian.
Polemik atas berbagai persoalan yang ditimbulkannya menunjukkan bahwa kebebasan berkomunikasi di dunia maya lebih cenderung destruktif daripada bersifat konstruktif oleh berbagai komentar baik berupa ujaran maupun wacana para netizen yang tanpa disertai semangat demokratisasi melalui ruang cyber sebagaimana menjadi harapan banyak pihak. Sehingga alih-alih menjadi saluran bagi semangat toleransi antar-anggota masyarakat (netizen), yang terjadi justru bahwa begitu bebasnya penggunaan media sosial itu justru dimanfaatkan sebagai saluran yang terbuka dari berbagai ujaran dan wacana kebencian yang berimplikasi pada pupusnya semangat demokratisasi saat ini.
Penggunaan media sosial ini pun tidak saja digunakan oleh pihak individu atau perorangan, namun berbagai organisasi besar, lembaga-lembaga internasional yang ternama, termasuk pemerintah dari berbagai negara pun menjadikannya sebagai sarana propaganda untuk memperkuat posisi politik kawasan dan termasuk tekanan publik pada kancah dunia bagi negara lain guna memperoleh feedback positif seperti dukungan dan pembenaran atas tindakan mereka dalam membangun narasi yang menyudutkan terhadap negara atau kelompok tertentu. Maka tak heran jika isu-isu HAM dimunculkan agar pelempar isu tersebut mampu menarik simpatik publik yang selanjutnya berdampak pada memanasnya suhu politik dalam negeri kepada negara mana isu tersebut dituduhkan sebagai pelanggarnya.
Persaingan global memang memungkinkan memicu berbagai propaganda itu dimunculkan, apalagi kekuatan dan kelemahan serta posisi suatu negara begitu mudahnya dikesankan pada pemandangan umum sebagai kesimpulan terhadap respon suatu permasalahan yang ditampilkannya. Sebut saja sikap Amerika Serikat terhadap situasi perang antara Rusia dan Ukraina. Pasca permintaan Amerika yang memohon agar Rusia tidak diundang pada pertemuan G20 nanti, mereka pun memunculkan isu dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia dari aplikasi Peduli Lindungi yang diterapkan oleh pemerintah. Walau aplikasi tersebut nyata-nyata ampuh dalam menurunkan tingkat pandemi di negeri kita ini.
Hal itu terungkap dari sebuah laporan resmi yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri (Deplu) Amerika Serikat (AS), pekan ini. Laporan ini menganalisa dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di 2021 yang dilakukan oleh berbagai negara. Laporan tersebut juga memuat Indonesia. Dalam pemberitaannya yang berjudul "Indonesia 2021 Human Rights Report" itu, Washington menyebut aplikasi Peduli Lindungi berdampak pada pelanggaran privasi seseorang. Pasalnya, informasi mengenai puluhan juta masyarakat yang terdapat di dalam aplikasi tersebut dan pihak aplikasi juga diduga mengambil informasi pribadi tanpa izin penggunanya. Tentu saja pernyataan ini bermotif politik dibalik tekanan terhadap Indonesia yang berpijak pada prinsip politik luar negeri bebas dan aktif.
Apalagi isu untuk meninggalkan dollar AS yang saat ini menjadi trend diberbagai negara, maka tak salah jika dugaan publik bahwa Amerika sedang memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk mengembalikan dominasinya terhadap negara-negara lain, terutama Indonesia yang sejak dahulu mampu mereka kendalikan. Campur tangannya yang sering berhasil untuk menurunkan rezim suatu negara, hal itu pun dialami Indonesia pasca tragedi G30S PKI yang menurunkan Ir Soekarno yang beralih ke era orde baru untuk berkuasa selama 32 tahun dibawah kendalinya, bahkan resources energy kita dikuras bagi keuntungan perusahaan-perusahaan Amerika, dimana Freeport pun ditanda tangani persis sebulan pasca Soeharto menduduki kekuasaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar