Senin, 20 Februari 2023

POLITIK NASIONAL MASIH TERSANDRA PADA DUA FAKSI KEKUATAN

08/05/2022

POLITIK NASIONAL MASIH TERSANDRA PADA DUA FAKSI KEKUATAN
Penulis : Andi Salim

Situasi Pilpres 2024 diprediksi tak jauh berbeda dengan tahun 2014 dimana masyarakat tetap terbelah pada dua kubu yang saling berhadapan untuk bertarung sangat ketat dan keras. Meski tak terjadi kekerasan fisik, namun kondisi tekanan non-fisik marak dalam bentuk kampanye hitam akan menghiasi berbagai situasi dimana pun dalam perebutan dominasi wilayah kemenangannya. Apalagi preseden buruk dari pertarungan pilkada DKI Jakarta, sengaja akan dibawa bagi kemenangan calon tersebut yang akan ikut bertarung pada pilpres 2024 yang akan datang.

Terlalu pagi untuk membicarakan Koalisi partai politik pada masing-masing faksi dalam membangun kekuatan, apalagi membentuk struktur tim kemenangannya di berbagai tingkatan, Namun safari politik ditingkat elit sudah mulai terasa, walau terkesan hanya silaturahim, akan tetapi muatannya akan terbaca sebagai adaptasi atau penjajakan awal untuk saling mencari benang merah kemana dan dimana chemistry dari kedua partai itu bisa terjalin. Atau paling tidak sekedar menerima masukan siapa calon dari masing-masing pihak yang akan dijagokannya.

Tak ketinggalan, keadaan ini pun terjadi pada tokoh-tokoh nasional dan daerah, termasuk tokoh budaya, tokoh agama dan tentunya dari para tokoh partai politik, atau para pengusaha yang ikut meramaikan perbincangan masalah ini. Sebab tak sedikit dari mereka yang justru malah berkomunikasi secara intens dari pada para capres selaku pengantinnya. Bahkan banyak paparan yang disampaikan sekedar wacana awal untuk memasangkan para calon kandidat termasuk menyampaikan prediksinya yang dirasakan akan memenangkan pilpres 2024 yang akan datang.

Melalui disiplin ilmu terapan politik, evaluasi perilaku pemilih, analisa sosiologis dan geopolitik serta beberapa keilmuan lain yang terkait, maka lembaga survey pun ikut memainkan perannya, Kualitas hasil survei atau pun metodologi yang digunakan sebagai mekanisme kontrol secara periodik dari berbagai informasi yang di umumkan. Tentu membuat lembaga survei di Indonesia pun semakin diminati hingga keberadaannya tampak menjamur dan terkesan malah menjadi konsultan politik dari beberapa tokoh yang bertarung di berbagai ajang pemilihan yang dilaksanakan oleh KPU dan KPUD di Indonesia.

Al hasil, dari beberapa calon kandidat baik yang merupakan kader partai atau pun non partai, maka tidak mudah bagi masyarakat untuk membuat kesimpulannya. Ditambah lagi, masyarakat pun ikut sibuk menerka-nerka kemana kandidat atau partai tersebut akan berlabuh. Sosok calon presiden yang acapkali terkendala pada sisi apakah datangnya dari sipil atau militer, laki-laki atau perempuan, jawa dan non jawa, Kawasan Indonesia bagian barat dan Timur, tak luput untuk menghiasi perhitungan pada Pilpres 2024 yang akan datang. Termasuk apakah NU dan non NU pun menjadi kalkulasi yang ikut menentukan. Sebab bobot tersebut dianggap representasi dari paket setiap calon yang akan diusung nantinya.

Perhelatan pesta rakyat ini memang masih 2 tahun lagi, akan tetapi ada makna yang tersirat bahwa publik menunggu sebuah ketegasan dari seorang calon yang berani, jujur serta tegas dalam menegakkan sikap toleransi yang kuat serta mengembalikan sisi nasionalisme kebangsaan yang dirasakan mulai memudar. Apalagi dibalik banyaknya penolakan dari netizen terhadap salah satu bakal calon yang dianggap menjadi representasi dari kalangan intoleransi yang begitu meresahkan masyarakat saat ini. Bahkan tak segan-segan masyarakat pun mengupayakan desakannya kepada partai yang dirasakan menjadi pintu bagi hadirnya calon pemimpin yang di inginkannya.

Demokrasi sudah semestinya menjadi pesta rakyat dan hanya mayoritas pemilih saja yang bisa menentukan kemana suara tuhan itu akan diarahkan. Kewaspadaan rakyat dalam memilih siapa pengelola kekuasaan negara kedepan akan berakibat pada maju atau mundurnya negeri ini. Melalui partisipasi pemilu sebagai sarana mandat rakyat yang mempertaruhkan nasib dan masa depannya kepada siapa pun yang di amanatkannya, tentu harus searah dengan harapannya pula. Sebab Indonesia bukanlah negara yang kokoh dari sisi fundamentalis bangsa, maka sudah sewajarnya seluruh potensi dikerahkan untuk keselamatan masyarakatnya.

Jika pesta demokrasi pada tahun 2014 dan 2019 masyarakat dapat sedikit merasa lega atas terpilihnya Jokowi sebagai Presiden, namun bukan hal itu tanpa tantangan, tangan-tangan kotor dan unggahan kebencian terhadapnya pun terus menghiasi selama perjalanan kerjanya. Di bawah banyak tebaran fitnah, hoaks dan permusuhan yang ditampakkan kelompok intoleransi itu, beliau tetap berada disisi rakyat yang bersedia membelanya pada berbagai isu yang menerpanya pula. Pemilu kita memang harus diakui bahwa masyarakat belum memperlihatkan sportifitas yang sesungguhnya. Bahkan pasca ditentukan kemenangannya pun masih memungkinkan untuk disandera.

Fakta itu membuktikan bahwa masyarakat masih banyak yang miskin, tidak saja pada status ekonomi dan sosialnya, namun miskin pula dalam wawasan dan pengetahuan akan esensi berdemokrasi yang semestinya. Sehingga kebodohan rakyat itu justru masih menjadi komoditas untuk bisa ditunggangi bagi kepentingan kelompok tertentu guna memaksakan kehendaknya. Oleh karenanya, pertarungan ditingkat elit, golongan tengah dan bawah serta kehadiran para relawan untuk menambah hangatnya suasana demokrasi ditanah air pun semakin menciptakan dinamika perkembangannya yang semakin sulit untuk dipegang sebagai ikatan kesepakatan dalam aturan berdemokrasi.

Tulisan ini hanya pengantar renungan semata
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...