6/03/2022PREDIKSI LEMBAGA INTERNASIONAL HARUS DISAMBUT DENGAN KEJELIAN MELIHAT PASAR DUNIA
Penulis : Andi Salim
Jika kita menyimak dari apa yang diumumkan pada beberapa indikator ekonomi, tentu kita menyikapinya dengan kecermatan untuk membaca hal itu dari berbagai indikator sekaligus menyandingkan potensi yang terdapat dari negeri sendiri dan apa yang menjadi kekuatan dalam negosiasi bilateral yang memungkinkan celah itu bisa diperoleh, termasuk melihat peluang bagi pasar internasional yang dapat dipenuhi dari peran indonesia yang memiliki segalanya untuk diangkat sebagai upaya pendapatan eksport, apalagi Indonesia saat ini memegang peranan G20 yang tentu menjadi kemudahan tersendiri dalam melakukan pembicaraan khusus dengan negara lain.
Posisi Indonesia yang saat ini berada pada urutan 16 dunia jika dilihat dari sisi PDB semestinya merupakan posisi strategis yang tidak terlalu menonjol dan tidak pula dapat direndahkan untuk menggandeng negara lain dalam melakukan kerjasama pada sektor-sektor khusus yang bisa saja saling menguntungkan, sebab negara mana pun akan berlaku sama terhadap Indonesia untuk mengangkat kepentingan negara mereka ketika hubungan antar kedua negara itu terjalin. Sebab tidak ada satu negara pun yang membiarkan negaranya kalah dalam bernegosiasi utamanya dibidang ekonomi, walau pada kenyataannya pasca terbentuknya kerjasama tersebut yang menampakkan hasil surplus atau defisit dari neraca perdagangan yang dialaminya.
Neraca Ekspor Indonesia yang tercatat pada bulan desember 2021 hanya mencapai US$22,38 miliar. Sedangkan nilai Import pada bulan yang sama untuk tahun 2021 lalu pun sebesar senilai US$21,36 miliar. Angka ini tidak sampai sebesar sebuah kota di india yang bernama Mumbai yang merupakan satu-satunya kota di Asia Selatan yang masuk daftar kota terkaya di dunia. Dulu kota ini bernama Bombay dan sudah dikenal sebagai pusat ekonomi India. Tentu saja perbandingan semacam ini membuat kita tercengang. Apalagi melihat luas kota mumbay yang hanya 603,4 km persegi, dimana jumlah penduduk kota ini mencapai 20,4 juta jiwa atau setara dengan salah satu Provinsi ditanah jawa.
Kita akan lebih tercengang lagi jika melihat PDB india yang secara keseluruhan mencapai 2.940 Milyar Dollar, dibandingkan Indonesia yang baru sebatas 1.150 Milyar Dollar jika dilihat perekonomian Indonesia tahun 2021 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku yang setara dengan Rp16.970,8 triliun atau PDB per kapita kita yang mencapai Rp62,2 juta atau setara pula US$4.349,5 pada kurs Dollar saat ini. Mereka jauh lebih unggul hampir tiga kali lipat diatas kita dari perolehan yang kita tahun 2021 ini. Apakah mereka akan dapat kita kalahkan, tentu saja menjadi sulit, mengingat industri kita yang lebih besar kepada potensi diluar keinginan pasar internasional.
Sebab bagaimana pun, menemukan peluang pasar pada sisi row material seumpama eksport kayu glondongan, hasil perikanan, perkebunan, dan peternakan, sepertinya amat sulit diperoleh dari belantara perdagangan internasional, apalagi para negara tersebut tidak mengumbar informasi dari kebutuhan mereka terhadap surplus atau devisit produk dalam negrinya, sehingga perdagangan pada komoditi semacam ini selalu dijadikan pertukaran kepentingan dari kedua negara yang menjalin kerjasama untuk saling menguntungkan. Oleh karenanya, dibutuhkan kejelian pemerintah dan pelaku industri kita dalam hal memasok kebutuhan apa yang bisa disupply agar terjadi volume transaksi perdagangan tersebut.
Dalam aktifitas ekonomi, istilah memproduksi apa yang menjadi kebutuhan industri tertentu, seperti suku cadang atau bahan-bahan tertentu yang bisa diproduksi walau dalam volume yang kecil, belum tentu kalah dari memasarkan produk-produk sebagaimana yang disebutkan diatas, oleh karena mereka pun melakukan hal yang sama. Apalagi jika kita memasarkan ikan kepada negara-negara maritim yang juga memiliki bentangan pantai sebagaimana yang dimiliki indonesia saat ini. Semestinya kita menemukan produk lain yang semestinya bisa dijual agar varian perdagangan kita pun bisa ditingkatkan, dibalik kepesertaan UMKM yang saat ini sedang diprogramkan oleh pemerintah.
Seperti dalam hal teripang, dimana indonesia penghasil teripang terbesar didunia dengan harga jual pasarannya sekitar Rp800.000 per kilogram, atau per Satu ons-nya, Rp80.000. bahkan yang dikeringkan bisa mencapai Rp 2 juta sekilo. Atau paling tidak hasil laut dan pertanian serta peternakan kita diciptakan nilai tambah sebagaimana teripang yang diproduksi Malaysia untuk dijadikan obat-obatan hingga menemukan pasarnya di dunia internasional. Tentu saja bidang kesehatan, bidang penelitian lain harus memasok informasi semacam ini kepada usaha pelaku ekonomi agar dimulai memproduksi jenis-jenis baru, termasuk pembuatan suku cadang yang belum tentu secara konglomerasi telah dimiliki oleh perusahaan-perusahaan dinegara-negara lain didunia.
Beberapa lembaga keuangan dunia memperkirakan Indonesia bakal menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi terbesar. Salah satunya adalah McKinsey yang menyebut di 2030 pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ada di peringkat 7 di dunia. Bahkan Center for Economic and Bussiness Research juga memperkirakan di 2035 Indonesia akan menduduki posisi ke-8 dalam ekonomi dunia. Dan terdapat pula prediksi dari The Economist Inteligence Unit yang memperkirakan pada tahun 2050 mendatang indonesia akan menjadi negara ke-4 di dunia dengan pertumbuhan ekonomi terbesar. Tidakkah kita bertanya serta mempersiapkan diri sejak sekarang untuk mencapai kearah sana.
Sebab apapun prediksi yang diumumkan oleh lembaga dunia tersebut semestinya memicu semangat dan gairah berusaha bagi iklim industri dan perdagangan dalam negri guna menjangkau pasar internasional kedepan, dan mustahil hal itu akan tergapai jika kita tidak persiapkan dari sekarang. Sehingga menjaga agar kebijakan pemerintah atau estafet peralihan kekuasaan Presiden Indonesia kedepan harus pula dengan derap dan langkah yang selaras pula. Walau penulis tidak menyebutkan siapa orangnya, namun tertinggalnya Indonesia dari persaingan dunia yang berujung pada ambruk kondisi ekonomi oleh karena krisis moneter tahun 1998 serta pembakaran subsidi yang menyebabkan kita mengalami perlambatan pertumbuhan selama 10 tahun, tentu kita waspadai agar tidak terulang lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar