Minggu, 19 Februari 2023

SISTEM KOALISI ITU PADA AKHIRNYA MENJADIKAN SINGA MEMAKAN RUMPUT

17/06/2022

SISTEM KOALISI ITU PADA AKHIRNYA MENJADIKAN SINGA MEMAKAN RUMPUT
Penulis : Andi Salim

Bagaimana situasi penetapan seorang calon Presiden dan wakil presiden, hal itu lazimnya dilakukan pada saat Munas partai politik, sebab melalui kegiatan itulah suatu partai akan menentukan pilihan sikapnya mengenai siapa dan bagaimana seorang capres dan cawapres itu ditetapkan. Walau pola pengambilan keputusan tersebut diwarnai dengan kondisi dinamika internal dan eksternal, sebab hal itu tentu berpengaruh besar pada seorang tokoh yang akan diusung untuk memperoleh rekomendasi partai tersebut yang selanjutnya akan didaftarkan secara sah pada KPU pusat.

Disamping itu, ketentuan tentang ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold yang ditentukan oleh KPU pusat akan menjadi bagian dalam menentukan lolosnya seorang calon, sebab bila suatu partai tidak memenuhi syarat ketentuan tersebut, maka diwajibkan untuk berkoalisi dengan partai lain guna memenuhi syarat yang ditetapkan. Hal itu sesuai dengan ketentuan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden. Sehingga pencalonan Presiden dan Wapres tersebut baru dianggap sah oleh konstitusi yang berlaku.

Dibukanya opsi berkoalisi merupakan gabungan, atau aliansi beberapa unsur partai, yang dalam kerjasamanya masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi koalisi seperti ini mungkin bersifat pragmatis yang hanya mementingkan agar pencalonan presiden dan wapres itu dapat memasuki persyaratan yang telah ditentukan. Landasan terjadinya koalisi semestinya didasari pada ideology partai yang bergabung, seperti PPP, PKS, PAN, PKB, atau partai PBB yang diketahui masyarakat sebagai partai Islam, lalu kelompok berbeda seperti PDIP, Gerindra, Golkar, NasDem, Demokrat dan Hanura, dinilai masyarakat sebagai partai nasionalis tentu memiliki cara pandang dan arah politik yang berbeda pula.

Akan tetapi pada proses ini terkesan berbeda dan dapat saja koalisi itu menjadi suatu perkawinan campur dari perbedaan ideology partai yang mendasarinya. Kawin paksa untuk melintas persyaratan ketentuan KPU semacam ini tentu menciptakan nuansa tersendiri bagi alur kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara, dimana jika koalisi kawin campur ini mereka menang, maka kepentingan pragmatisme yang mereka usung tentu menjadi bagian persoalan tersendiri untuk menjauhkan landasan perbedaan ideology yang mereka miliki dari masing-masing partai itu, dimana sesungguhnya mereka memiliki tujuan dan DNA yang berbeda pula.

Dalam menampilkan sosok capres dan cawapres pun terlihat aneh dan terkesan lucu, sebab betapa tidak, pasca terjadinya perkawinan tersebut, kita dapat membayangkan jika diumpamakan se-ekor Singa namun beraksen mengembek layaknya Domba yang bertanduk, sebagaimana yang sering kita jumpai. Maka dalam pendekatan politik agar visi dan misinya dapat dipersatukan, sang Singa yang bertanduk itu pun berjanji tidak akan memakan Domba yang ditakdirkan sebagai makanannya. Fakta inilah yang nantinya akan kita temui dari proses kawin campur yang dipaksakan itu. Bahkan prilaku Singa itu pun menjadi aneh, dimana mereka sering terlihat berjalan bersama pula dalam berbagai kesempatan, walau memiliki habitat yang berbeda.

Perkawinan campuran ini tentu akan semakin janggal manakala kita dapati sang Singa malah menjadi pemakan rumput layaknya Domba. Oleh karenanya kondisi yang dipaksakan ini, sistem pemilu kita harus ditinjau ulang demi memberhentikan tinjauan pemikiran yang dangkal dan merusak habitat kehidupan perpolitikan dari ketentuan yang diberlakukan kepada peserta pemilu tersebut. Sebab hanya dalam ideology yang sama, suatu partai itu dapat merumuskan untuk berkoalisi. Jika tidak, maka habitat politik kita akan merubah ekosistem yang tentunya merusak tatanan keseluruhan dari arah tatanan kehidupan bangsa ke depan.

Naiknya atmosfer intoleransi sejak lama dibeberapa daerah, hingga penggunaan politik identitas yang merusak kondisi berbangsa kita pun disinyalir sebagai akibat dari perkawinan politik yang memiliki latar belakang ideology partai yang tidak sama, disamping itu aturan presidensial treshold bukanlah ayat tuhan yang harus dipatuhi hingga kiamat. Apalagi penerapan Pasal 222 UU 7/2017 itu berisiko mengamputasi fungsi aspirasi politik masyarakat untuk memperoleh pemimpin terbaik bagi bangsa ini. Disamping itu, kemungkinan tampilnya calon independen pun harus dibuka seluas-luasnya.

Pada kenyataan sistem koalisi yang dimulai sejak 2014, merupakan start awal dari pemilihan Presiden dan Wapres secara langsung yang berlaku di indonesia, sehingga sampai saat ini justru menjadikan sistem koalisi ini sebagai solusi bagi hadirnya partai agama untuk memperoleh sempalan kekuasaan itu, untuk selanjutnya meniupkan pengaruh konservatisme agama keberbagai lembaga pemerintah termasuk fasilitas keagamaan seperti mimbar-mimbar, masjid-masjid yang bersifat provokatif yang sarat dengan ujaran kebencian dan kepentingan kelompok, serta mendirikan organisasi wadah pegawai sebagaimana di KPK untuk selanjutnya digunakan sebagai panggung provokasi yang mereka kembangkan.

Dari beberapa Pemilu yang digelar, suara yang diperoleh parpol Islam selalu kalah, padahal, jumlah parpol Islam yang mengikuti pemilu sudah ramping. Pada Pemilu 1999 terdapat sembilan parpol Islam, Pemilu 2004 turun menjadi tujuh parpol. Menurunnya suara partai Islam telah terjadi sejak Pemilu 1955 parpol Islam meraih suara 43,7 persen, lalu pada 1999 menurun drastis menjadi 36,8 persen. Hal ini mengkonfirmasi bahwa masyarakat islam tidak memiliki korelasi suaranya dengan partai islam sehingga semestinya mereka tetap diluar kekuasaan pemerintah. Akan tetapi ruang koalisi menjadikan situasi ini berbeda.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...