Minggu, 19 Februari 2023

TIDAK SEPANTASNYA PEMERINTAH MELAKUKAN KOMPROMI SEDIKIT PUN PADA KAUM INTOLERANSI

26/07/2022

TIDAK SEPANTASNYA PEMERINTAH MELAKUKAN KOMPROMI SEDIKIT PUN PADA KAUM INTOLERANSI
Penulis : Andi Salim

Kompromi merupakan proses pembuatan keputusan yang dapat memungkinkan terjadinya stabilitas jangka panjang dan keamanan demokrasi secara bersamaan. Kompromi adalah kunci dari budaya demokrasi. Kita memang harus dewasa dalam berpolitik untuk tidak mencampur adukan antara agama dengan strategi berpolitik yang salah satu dari ciri ini diklaim sebagian banyak orang sebagai pihak yang kurang bermoral, oleh karenanya kita tidak perlu terpancing dengan isu islamofobia yang saat ini sengaja dikembangkan oleh segelintir oknum demi perpecahan bangsa ini, hal itu memang sengaja dikaitkan supaya pemerintah melonggarkan keberadaan aksi mereka agar lebih memperoleh keleluasaan dalam menarik masyarakat luas yang notabenenya tidak sealiran dengan faham mereka tersebut.

Kita hanya mengakui bahwa jasa dan sumbangsih atas jasa para pahlawan islam hanya dari dua keormasannya saja, yaitu NU dan Muhammadiyah, sehingga apapun yang disuarakan oleh golongan lain harus kita kaitkan dengan sejarah dan latar belakang bangsa ini, jangan sampai kita dikecohkan oleh sumber-sumber informasi yang menyesatkan. agar suasana bangsa ini tetap kondusif dan terbebas dari hoaks serta hujat menghujat diantara sesama anak bangsa. Konsekuensi logis yang menyertai setiap pemikiran dan tindakan kearah itu sengaja penulis sampaikan, bahwa yang kini disuarakan oleh para pihak pendukung khilafah tersebut, memang pernah konsep ini disampaikan dalam naskah akademik yang disuguhkan didalam Sidang BPUPKI oleh KH. AGUS SALIM.

Namun konsep khilafah itu hanya sebatas gerakan keagamaan atas kepemimpinan nasional yang berdasarkan syariat Islam, dimana pemimpinnya disebut dengan istilah Khalifah. Namun konsep itu pun pada akhirnya kandas pula. Koridor konstitusi memang terbuka bagi siapa saja, akan tetapi bukan cara-cara politik jalanan seperti saat ini. Bahkan Kita tahu jika upaya ini hanya dilakukan oleh segelintir orang yang membungkusnya dengan ukhwah islamiyah dan mengambil istilah ummatan wasathan. Sedangkan Kata wasath yang berarti tengah, pertengahan, moderat, jalan tengah, seimbang antara dua kutub atau dua ekstrim (kanan dan kiri).

Sehingga kemunculan mereka yang cenderung kepada gerakan kanan jauh serta belum menjadi paripurna yang memiliki legitimasi untuk mengajak masyarakat secara sah. Sebut saja persetujuan dari dua ormas besar yang penulis sebutkan diatas. Sehingga penulis bertanya-tanya, atas dasar apa mereka secara leluasa menyuarakan hal itu, sedangkan kongklusi dinamika internal islam sendiri belum mereka peroleh untuk menentukan sikapnya. Hingga saat ini pun belum ada pernyataan baik dari NU dan Muhammadiyah yang menerima konsep Khilafah itu sebagai perjuangan mayoritas umat islam Indonesia, berbagai alasan yang mereka sampaikan cenderung mengambil sisi pemahaman sepihak dan lebih kepada menarik umat islam kearah politisasi agama semata.

Fakta inilah yang ditentang oleh Buya Syafi'i maarif dan Said Aqil Siradj dalam berbagai kesempatan. Lalu bagaimana sikap masyarakat terhadap situasi ini, jika kecenderungan gerakan mereka justru berdasarkan label keislaman dari ambisi pribadi atau kelompok yang masing-masing dari mereka sebatas keinginan sepihak saja. Artinya statemen oknum yang mendukung keberadaan khilafah itu jelas-jelas menantang UUD45 bahkan berbagai organisasinya pun sudah dilarang untuk melakukan kegiatannya. Apalagi terdapat pertentangan antara kelompok mereka dengan budayawan yang menjadi pilar nasionalisme kebangsaan kita.

Sehingga menurut penulis, negara tidak pernah terusik oleh keberadaan intoleransi yang berkembang saat ini, namun justru dengan para Budayawan, dinamika internal islam dan kelompok minoritas yang justru saat ini menampakkan perlawanannya. Mereka yang menamakan diri Islam Nusantara dan pemeluk agama yang berbeda serta budayawanlah yang sebenarnya menjadi lawan dari kelompok ini, sehingga netralitas negara menjadi terganggu. Dan kini pun mereka menyudutkan pemerintah dengan isu islamofobia sebagai hembusan bagi terciptanya ruang kosong agar bisa terus dimanfaatkan oleh kelompok intoleransi ini.

Aksi saling kritik dan saling hujat pun tak terhindarkan, bahkan sifat dan watak ketimuran indonesia sudah nyaris punah oleh naiknya peringkat indonesia sebagai negara dengan urutan No 4 didunia yang memiliki ketidaksopanan dalam bermedia sosial. Artinya keberadaan kelompok intoleran itu telah berhasil memporak-porandakan adat istiadat serta kultur sopan santun bangsa ini dimana kita membutuh ketenangan dan kedewasaan diri yang lebih baik agar kita lebih bijaksana pula. Sebab bagaimana pun membangun sebuah bangsa dan negara, tentu harus memastikan bahwa apa yang akan kita bangun benar-benar diatas pondasi yang kuat, jangan sampai kita membangun diatas tanah yang labil sehingga bangunan yang terbangun malah mudah runtuh dengan sendirinya.

Setiap pihak semestinya mampu dan memahami hal-hal semacam itu, yang tentu saja tidak boleh berpangku tangan dan memilih untuk jalan diam demi mengamankan posisinya pribadinya. Segala resiko yang akan kita terima adalah perjuangan yang setidaknya akan dipersembahkan bagi anak-anak kita kelak, serta jangan pula berharap upah dari pengorbanan perjuangan bersama ini. Sebab betapa sulitnya generasi muda nantinya sekiranya kedaulatan bangsa kita justru berpindah tangan kepada golongan perusak bangsa ini kedepan. Soekarno memilih jalan itu, dan para pahlawan pun mengambil sikap yang sama walau dengan bekal bambu runcing semata, maka apakah kita hanya dengan sikap menolak dan menggunakan jari jemari untuk menyuarakan sesuatu menjadi hal yang memberatkan.

Hal itu tentu memperlihatkan seberapa besar seseorang itu berkemauan membersihkan residu politik dan maraknya intoleransi yang berkembang saat ini. Kita memang memahami perjuangan sebagian orang, walau disisi lain kita pun sedang berusaha agar kelompok Nasionalisme kebangsaan benar-benar bisa kembali membangun kekuatan dan mampu mandiri dari segala faktor kebutuhannya. Termasuk bagaimana sumber daya yang ada berpotensi mensejahterakan dan kemandirian anggotanya. Oleh karenanya, tanpa menyebut-nyebut siapa dan kelompok mana yang berjasa terhadap bangsa dan negara ini, sebaiknya kita tetap ikut berjuang sambil membersihkan kekeliruan pandangan sekaligus mengedukasi bangsa ini agar lebih baik kedepannya.

Upaya itu dapat kita tempuh dengan cara menyuarakan sendi-sendi kebangsaan dan membangun semangat toleransi serta apresiasi terhadap budaya nasional agar patriotisme bangsa ini kembali bangkit dengan kejayaannya. Sebab wacana perdebatan antara nasionalis dan kelompok agamis harus diimbangi dengan gerakan nyata, bagaimana kita membuat pos-pos pembinaan yang bisa melingkupi edukasi dan dorongan ekonomi bagi masyarakat luas. Apalagi persaingan ini akan semakin menajam hingga mendekati pemilu 2024 yang akan datang. Setiap peristiwa bisa kita jadikan bahan analisa dan pijakan menuju kemenangan 2024 sehingga kubu nasionalisme kembali menang untuk kita banggakan sebagai kelangsungan bangsa ini kedepan.

Semoga tulisan ini bermanfaat.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...