JANGAN MENYUNTIKKAN KEKHAWATIRAN DITENGAH PERHITUNGAN YANG DANGKALPenulis : Andi Salim
13/05/2023
Bagaimana memecah belah suara rakyat adalah menjadi persoalan tersendiri ditengah kekhawatiran terhadap politik identitas yang ingin mendapatkan opsi kemenangan dibalik kontestasi pilpres 2024 yang akan datang. Para pengusung konsep ego sektoral ini pun langsung tancap gas sekaligus hadir diberbagai wilayah sekali pun legitimasi terhadap keberadaan mereka belum menampakkan kejelasannya, oleh karena posisi mereka dirasakan masih samar, apakah mereka datang sebagai representasi umat islam atau merupakan gerakan campuran dari ideologi konservatif yang berhaluan moderat. Sebab faktanya mereka tidak didukung secara formal, baik oleh organisasi islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama, apalagi oleh partai berbasis islam lain yang saat ini biasa dikenal publik seperti PAN, PPP dan PKB atau pun PBB dalam menunjang aksinya.
Hanya PKS yang berkemungkinan besar dibelakang sosok Anis Baswedan selaku mesin politik yang saat ini telah menyatakan kesiapannya guna menunjang sarana kampanye Anis sebagai capres walau dibalik sosoknya yang dikenal publik identik sebagai figur tokoh politik identitas. Tentu saja publik tak lupa dengan sikap Nasdem yang telah lebih awal mendeklarasikan dukungannya terhadap Anis, ditambah lagi prediksi publik terhadap posisi partai Demokrat yang mau tidak mau harus ikut didalam gerbong barisan ini. Sebab partai Demokrat seakan tidak memiliki tawaran lain kecuali ikut berpartisipasi pada koalisi Perubahan demi menggenapi ambang batas pencapresan Anis dari tergabungnya 3 partai yang sebenarnya memiliki perbedaan ideologi yang tajam. Sebab ideologi PKS yang merupakan partai berbasis agama, memang tidak sama dengan Nasdem dan Demokrat yang merupakan partai nasionalis.
Jika sebuah negara yang diasumsikan sebagai instrumen dari banyaknya lembaga yang mengelilinginya, maka peranan masing-masing pihak tentu saja harus on the track pada hak-hak dan kewajibannya, termasuk pada fungsi dan tujuan terhadap apa yang menjadi point inti atas ketajaman lembaga itu didirikan. Meski pun masih terdapat beberapa variabel penting yang terkadang luput dari perhitungan atas berbagai fokus urusan lembaga itu guna memasukkan hal-hal detail sebagai suplemen kemajuan sebuah bangsa. Namun tak jarang kita dapati bahwa ada saja faktor lain yang mempengaruhi gagalnya target lembaga tersebut yang semestinya bisa dicapai. Hal itu bisa dimaklumi oleh karena banyaknya persoalan lain yang semula tidak diperhitungkan, namun pada akhirnya justru menjadi faktor penentu dalam pencapaian goals keseluruhan terhadap eksistensi kelembagaan itu yang terlanjur hadir ditengah masyarakat.
Sama halnya dengan eksistensi sebuah keluarga, tentu saja setiap pembentukannya didasari atas niat untuk menjalin hubungan yang harmonis serta mencapai kebahagiaan melalui target kesejahteraan agar sandang, pangan dan papan dapat teratasi secara mapan. Upaya kearah sana pun dibangun melalui kerja keras dan kerja cerdas agar setiap komponen sebagai individu dalam keluarga tersebut dapat merasakan hangatnya atmosfer yang diciptakan melalui kedisiplinan terhadap aturan dan penerapan hak-hak dan kewajiban yang timbul dari peranannya masing-masing. Sekalipun para pihak tak jarang dihadapkan pada berbagai persoalan yang saling bersinggungan atas kepentingan atau kebutuhan masing-masing, akan tetapi sepanjang kemauan untuk tetap fokus keseimbangan pada peranan masing-masing hal itu dapat terselesaikan hingga berlanjut dalam jangka waktu yang panjang.
Tanpa adanya kesalahan atau disfungsi peranan para pihak saja, berbagai persoalan dan tantangan masih banyak yang harus ditaklukkan, sebab faktor eksistensi sebuah keluarga tidak sekedar penilaian dari sisi orang-orang yang menjadi anggota keluarga tersebut, apalagi bila ditinjau dari mana latar belakang keluarga atas hubungan suami atau istri tersebut berasal. Dinamika ini akan terlihat semakin luas, sebab keberadaan mereka pun akan terkait pada tumbuh kembangnya sebuah keluarga. Hidup memang terus tumbuh dan berkembang, seiring bertambangnya kebutuhan-kebutuhan untuk memenuhi berbagai penyesuaian terhadap itu semua. Apalagi jika para pihak tanpa berpikir panjang telah melakukan kesalahannya, seperti suami terlibat kasus korupsi, atau perselingkuhan istri, serta anak yang tertangkap mengkonsumsi narkoba. Tentu saja berakibat buyarnya tujuan keluarga yang semula ditanamkan melalui disiplin yang ketat.
Keadaan ini sama halnya dengan membangun sebuah bangsa. Walau upaya kemajuan dari berbagai bidang menjadi tantangan yang nampak begitu banyak tersebar hingga menjadi sulit meregistrasi skala prioritas mana yang lebih penting, oleh karena sifat urgensi dan faktor akselerasi bangsa ini yang sedemikian lama tertinggal dari bangsa lain. Termasuk menentukan pembangunan yang mana untuk didahulukan, apakah dari sisi SDM atau pembangunan sektor riil guna mengolah sumber daya alam agar dengan segera menumpas kemiskinan, meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, sekaligus melakukan penyesuaian bangsa ini terhadap pertumbuhan dunia internasional. Maka, segalanya itu terlihat begitu penting untuk didahulukan, apalagi terkait peningkatan sarana pendidikan agar SDM generasi mudanya menjadi pewaris yang handal dikemudian hari.
Satu hal yang harus kita cermati bahwa banyak pihak yang melakukan kritik terhadap pemerintah saat ini, mulai dari peranan sektor mau pun subsektor yang mereka sampaikan secara detail. Akan tetapi, sesungguhnya mereka lupa bahwa kemampuan negara masih terlampau lemah untuk memenuhi segala kebutuhan, baik dari sisi sumber daya manusianya yang belum tersedia, atau dari faktor anggaran yang belum teralokasikan guna menyelesaikan serta menutup celah mana yang menjadi prioritas penting dan gentingnya masalah itu dituntaskan. Sebab pemerintah masih terus mengalami defisit anggaran yang sejak lama terngiang ditelinga masyarakat. Bahkan hal itu terjadi sejak orde lama dan orde baru sekalipun. Hal itu menampakkan bahwa anggaran yang dibutuhkan selalu menjadi dinamis termasuk alokasi penyesuaian dalam merespon iklim pertumbuhan internasional.
Tanpa adanya kesalahan masyarakat saja pemerintah sudah begitu kerepotan guna menutup prioritas mana yang semestinya didahulukan, apalagi adanya prilaku yang memecahbelah, bahkan berwacana mengganti ideologi negara serta menerapkan politik identitas yang mengarah pada kekhawatiran atas falsafah kebhinnekaan bangsa ini. Apalagi membawa-bawa faktor etnis yang sengaja ditujukan untuk mendiskreditkan pihak lain hingga terasa semakin kurang elok bagi kemajuan demokrasi di tanah air. Hal itu sama halnya dengan terjadinya guncangan bagi eksistensi sebuah keluarga sebagaimana penulis sampaikan diatas, hingga buyarnya keluarga itu akibat dari kesalahan yang dilakukan oleh komponen individu didalamnya. Lagi pula, Kekhawatiran rakyat sebenarnya bukan terhadap besarnya Utang Luar Negeri Indonesia yang saat ini masih jauh dari 60% terhadap PDB nasional sebagaimana ketentuan UU, namun justru lebih khawatir atas pecahnya persatuan dan kesatuan bangsa ini tentunya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar