MENGAPA HARUS MENYERAHKAN KEKUASAAN KEPADA PIHAK LAINPenulis : Andi Salim
13/05/2023
Pernyataan yang disampaikan secara terbuka mengenai penolakan capres Anis Baswedan oleh ketua umum DPP KNPI sdr. Laode Umar Bonte tentu menarik untuk disimak. Video Vlog yang disampaikannya menyebutkan bahwa betapa bangsa ini telah memberikan kesempatan kepada etnis lain yang notabenenya bukan merupakan keaslian bangsa Indonesia. Bahwa Anis Baswedan pernah duduk sebagai Menteri Pendidikan beberapa tahun silam dan pernah pula menjabat selaku Gubernur DKI Jakarta menjadi bukti bahwa negera telah menyediakan ruang apresiasi terhadap siapapun sekalipun mereka berasal dari etnis pendatang seperti Arab dan etnis Tionghoa sekalipun. Keterbukaan dan bentuk penghargaan ini sebagai fakta bahwa bangsa Indonesia membuka kesempatan bagi siapa saja, namun tidak untuk dikuasai oleh bangsa lain melainkan hanya sebatas ruang kesempatan semata.
Jabatan Presiden merupakan Jabatan tertinggi dari seorang putra bangsa yang tidak ada lagi yang paling tinggi guna mengatur hajat hidup putra-putri bangsa Indonesia, termasuk bagaimana mengolah kekayaan bangsa ini di segenap sektor yang ada. Bahkan bagian-bagian yang didalamnya terdapat kerahasiaan sekalipun dapat dilihat secara terang-benderang bisa disentuh oleh siapa saja yang duduk sebagai Presiden Indonesia. Termasuk bagian sensitif seperti kerahasiaan dokumen dan perencanaan strategis yang tidak bisa dilihat oleh intelejen manapun di dunia ini kecuali oleh Presiden Indonesia semata. Apalagi kondisi internal BIN yang selama ini penuh dengan kerahasiaan yang bersifat confidential yang tak seorang pun boleh menyentuhnya, bahkan hanya segelintir pejabat saja yang bisa mengakses informasi penting didalamnya.
Tidak hanya sampai disitu. Jika di ibarat seorang Presiden adalah kepala keluarga, maka segala tabungan dan harta kekayaan keluarga tersebut menjadi bagian yang bisa dikuasainya, termasuk penggunaan kendaraan yang menjadi aset keluarga serta pemanfaatan sertifikat rumah atau apa saja yang terdapat didalamnya bisa di alihkan, dijual, atau dipindah tangankan kepada pihak lain sepanjang dirinya menduduki jabatan kepala keluarga tersebut. Walau harus merundingkannya kepada anggota keluarga lain, kewenangan dalam penggunaan anggaran rumah tangga, pemanfaatan aset-aset didalamnya, perubahan arah dan orientasi keluarga pun dapat dilakukannya sebagai pihak yang mengemban posisi tertinggi didalam keluarga itu, Tak terkecuali membangun atau meruntuhkan eksistensi keluarga tersebut pula. Sehingga pernyataan sdr. Laode Umar Bonte dapat kita maklumi sebagai kekhawatiran masyarakat pada umumnya.
Tentu saja hal itu dilandasi kecintaan dirinya terhadap bangsa ini. Sebab betapa tidak, menyerahkan nasib bangsa ke tangan mereka yang tidak pantas, apalagi tidak cakap memimpin sebuah bangsa adalah kecelakaan yang fatal dan berdampak pada kehancuran sebuah negara pada akhirnya. Walau ada pihak yang menyebutkan bahwa dirinya telah berlaku rasis oleh karena menitik beratkan sosok Anis yang dianggap bukan merupakan putra bangsa Indonesia asli serta berasal dari bumi pertiwi ini, akan tetapi harus diakui bahwa kedudukan kursi Presiden adalah bagian yang amat sangat sakral / keramat untuk disentuh oleh siapa saja, bahkan hal itu hanya dapat dijamah oleh mereka yang sekiranya mendapat pertolongan Tuhan untuk menyentuh dan menduduki kursinya. Kesadaran inilah yang harus dipahami masyarakat agar bangsa Indonesia tidak sekedar melihat jabatan itu layaknya kedudukan lurah atau sebatas RT atau RW disekitaran mereka.
Bahkan kursi ini belum secara merata dirasakan oleh bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya hingga saat ini. Indonesia yang memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, atau lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air berdasarkan sensus BPS tahun 2010 lalu, dimana suku Jawa adalah kelompok terbesar di Indonesia dengan jumlahnya yang mencapai 41% dari total populasi penduduk, maka menjadi tak heran jika kedudukan Presiden masih didominasi oleh suku Jawa yang belum pernah tergantikan oleh suku lain, sekalipun suku-suku di Indonesia sebanyak yang penulis sebutkan diatas. Bagaimana mungkin Anis Baswedan malah ingin menduduki jabatan ini hanya dengan menyeret agama yang dipolitisir sebagai gerakan politik identitas sehingga mempengaruhi pemikiran masyarakat untuk menguasainya.
Bangsa Indonesia sering dijejali oleh informasi dari negara dimana keterbukaan bangsanya yang telah mapan. Salah satunya adalah begitu terbukanya demokrasi di Amerika Serikat. Namun masyarakat jangan mudah diperdaya begitu saja, sebab sejarah Amerika adalah peristiwa panjang dari perjalanan sebuah bangsa. Bahkan Hari Kemerdekaan Amerika Serikat atau Independence Day yang sering dikenal dengan sebutan Fourth of July, adalah sebagai hari untuk memperingati disahkannya Deklarasi Kemerdekaan oleh Kongres Kontinental Kedua pada 4 Juli 1776. Artinya, kemerdekaan Amerika terjadi 247 tahun silam yang mana keadaan masyarakatnya telah mengalami perubahan tahun demi tahun dari dua setengah abad yang dilaluinya. Hal itu berbeda dengan Indonesia yang baru merdeka selama 78 tahun hingga saat ini.
Kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih bersifat awam dan kurangnya wawasan nasionalisme serta kepedulian atas pentingnya menjaga kedaulatan negara adalah bagian yang sering diabaikan masyarakat dari minimnya tingkat pendidikan yang belum merata hingga ke penjuru tanah air bahkan sampai sekarang. Maka tak heran jika rakyat sering dibodohi oleh pemikiran-pemikiran dangkal yang menyesatkan. Termasuk oleh janji-janji pihak lain yang tak jarang merugikan diri mereka sendiri. Bahkan kampanye tentang apa saja yang sering di istilahkan dengan sebutan pemilihan langsung, masih mempraktekkan serangan fajar yang belum tuntas hingga saat ini. Praktek-praktek semacam ini masih terus saja terjadi dan semakin hal yang lazim ditemukan, mulai dari pemilihan Kepala Desa, Kepala daerah, atau Pemilihan Gubernur, dimana kondisi semacam ini masih saja menghiasi kotornya prilaku demokrasi di tanah air ini.
Masyarakat memang biasa bekerja keras untuk mendapatkan kesejahteraannya dengan mengabaikan kesehatannya, atau menukar kesejahteraannya dengan biaya yang tinggi untuk mendapat kesehatannya kembali. Namun menukar bangsa ini dengan fanatisme beragama atau menukar pembelaan Agama dengan mengorbankan bangsa dan negaranya adalah bagian yang berbeda. Sebab batasan-batasan konstitusional mengatur tata prilaku masyarakat yang seharusnya membatasi hal itu agar tidak terjadi. Walau kata "Asli" telah dihapuskan atas syarat pencalonan seorang Presiden sebagaimana yang dipersyaratkan didalam UU pasca terjadi reformasi besar-besaran di pemerintahan Republik Indonesia sehingga UUD 1945 mengalami beberapa perubahan atau amandemen. Dimana Amandemen I tahun 1999, Amandemen II tahun 2000, Amandemen III tahun 2001, dan Amandemen IV tahun 2002. Akan tetapi bukan serta merta etnis non pribumi langsung layak dianggap layak untuk duduk di kursi yang begitu Kramat tersebut.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar