MENAMPAR WAJAH SANG PERUSAK KERUKUNAN BANGSAPenulis : Andi Salim
27/05/2023
Berselimutkan sesama agama yang menjadi mayoritas, serta melegitimasi tindakan mereka pada kesamaan agama sebagaimana yang dianut oleh masyarakat indonesia pada umumnya, tentu hal tersebut disambut baik oleh sebagian pihak yang awam dan kurang memahami ciri khas dan perbedaan dalam setiap keyakinan. Sebagian masyarakat Indonesia pun tidak lagi bersolek pada akar budaya yang menjadi warisan nenek moyangnya, apalagi simbol-simbol yang sejak dahulu dijunjung tinggi dari lemah lembut dan sikap welas asih antar sesama bangsa pun menjadi target hasutan kebencian dari pihak intoleransi itu untuk memecah belah agar satu sama lain saling menafikan diri.
Apalagi genderang politik yang sering memunculkan celah bagi terbukanya ruang tersendiri bagi keberadaan mereka, walau terasa pahit dan sedikit mengganggu telinga masyarakat, akan tetapi calon Presiden dan kepala daerah yang mendapatkan rekomendasi partai pun seolah-olah membiarkan bercampurnya DNA negatif yang sebenarnya mengganggu atmosfer kerukunan antar umat beragama yang telah lama menjadi budaya bangsa. Demi kemenangan untuk menduduki suatu jabatan, maka para calon pejabat negara ini sering sedikit melunak untuk membiarkan keberadaan intoleransi ini tumbuh dan berkembang.
Kita pun dikejutkan pada aksi klaim-klaiman masa yang diakui oleh mereka bahwa keberadaan masa dari para penghasut kebencian itu bahkan melebihi jumlah masa partai pemenang pemilu, hal ini tentu saja mencengangkan namun sekaligus ditertawakan oleh banyak politikus kita yang sejak dulu bersusah payang menggalang masa, akan tetapi hasilnya tak kunjung naik secara signifikan. Angka tersebut terlihat sejak pemilu 2004 yang merupakan terselenggaranya pemilihan langsung hingga saat ini, PDI Perjuangan selaku partai pemenang Pemilu pada 2019 saja, hanya meraih 27.053.961 atau 19,33 persen dari suara sah nasional.
Berangkat dari mimpi indah yang selalu didengungkan oleh mereka, kebohongan demi kebohongan pun terus diciptakan agar publik mempercayainya, apalagi dibumbui ancaman dan intimidasi yang dianggap legal bagi pengakuan penafsiran keyakinan yang mereka miliki, walau sumber mazhab yang dipahaminya menjadi berbeda antara kelompok tersebut dengan pihak aswaja yang lebih mengedepankan kecintaannya kepada NKRI. Kemarahan kaum Aswaja ini jelas terlihat dibeberapa pernyataan mereka yang memandang pergerakan intoleransi ini begitu sangat membahayakan keberadaan islam ditanah pertiwi ini.
Sebab bagaimana pun para tokoh agama selaku pendiri bangsa ini yang sejak dahulu lebih mewajibkan agar setiap umatnya lebih mencintai negri ini serta menjadikan kerukunan antar umat adalah landasan kehidupan bagi semua golongan dan memandang berdirinya sistem khilafah tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Sehingga tudingan bahwa gerakan intoleransi ini lebih kepada gerakan politik yang haus akan kekuasaan untuk menghalau kelompok nasionalisme agar keluar dari radius nusantara yang merupakan perjuangan darah dari para leluhurnya pula. Posisi inilah yang acapkali ditegaskan pada setiap aktifitas NU dan Muhammadiyah agar masyarakat mendahulukan ukhwah wathoniyah sebagai kecintaan terhadap bangsa.
Kejadian demi kejadian kasus intoleransi pun hadir menghiasi media pertelevisian Indonesia, para perwakilan dari masing pihak pun terlihat saling berhadap-hadapan, termasuk dari kalangan Muhammadiyah yang diwakili Prof. Anwar Abbas dan dari kalangan NU yang diwakili Nushron Wahid guna membahas tragedy penistaan agama terhadap kalangan umat hindu yang dilakukan oknum HF yang membuang-buang SESAJEN di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru di Lumajang, maka pelakunya pun resmi menjadi tersangka. Polda Jawa Timur akan menyerahkan Hadfana Firdaus (HF) ke Polres Lumajang.
Sosok Hadfana Firdaus yang merupakan tersangka kasus penendangan sesajen di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru itu menjadi viral dimedia sosial saat ini. Sebab betapa tidak, keberanian beliau seakan mengusik keberagaman dan keberagamaan dari semua kalangan aktifis termasuk masyarakat Lumajang yang merasa terusik, hal tersebut dapat kita lihat melalui sikap Bupatinya yang demikian marahnya jika ketentraman masyarakatnya yang terganggu dimana hal tersebut adalah upaya yang dengan susah payah dijaganya dengan muspida terkait agar kedamaian lumajang menjadi kebanggaan masyarakatnya pula.
Jika kelompok intoleransi ini terus dibiarkan, penghasutan dan ujaran kebencian terus marak dimana-mana, mustahil Indonesia akan tetap utuh untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan serta mencintai bangsa ini sepenuhnya. Apalagi penyebaran mereka pun telah berada dibeberapa wilayah, yang secara samar sulit dibedakan, yang mana kelompok mereka dan yang mana pula kelompok Aswaja, oleh karena mereka pun menggunakan atribut yang sama dan menyuarakan naiknya fanatisme keagamaan yang dipandang perlu sebagai kekuatan sendi-sendi keagamaan.
Agama adalah jalan untuk siapapun dalam menuju kebaikan dalam memperbaiki diri, sedangkan kebaikan diri yang ditampilkan melalui cara pandang dan akhlak merupakan representasi dari setiap umat beragama, namun jika outputnya malah menjadi kebencian dan kegemaran pada ujaran kebencian dan menghasut pihak manapun serta bertujuan membangun keserakahan pada kekuasaan, tentu saja masyarakat harus berpikir ulang, untuk apa beragama jika hanya dikandaskan oleh prilaku buruk dan malah menyimpang dari norma-norma kebaikan dan kebenaran itu sendiri.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Berselimutkan sesama agama yang menjadi mayoritas, serta melegitimasi tindakan mereka pada kesamaan agama sebagaimana yang dianut oleh masyarakat indonesia pada umumnya, tentu hal tersebut disambut baik oleh sebagian pihak yang awam dan kurang memahami ciri khas dan perbedaan dalam setiap keyakinan. Sebagian masyarakat Indonesia pun tidak lagi bersolek pada akar budaya yang menjadi warisan nenek moyangnya, apalagi simbol-simbol yang sejak dahulu dijunjung tinggi dari lemah lembut dan sikap welas asih antar sesama bangsa pun menjadi target hasutan kebencian dari pihak intoleransi itu untuk memecah belah agar satu sama lain saling menafikan diri.
Apalagi genderang politik yang sering memunculkan celah bagi terbukanya ruang tersendiri bagi keberadaan mereka, walau terasa pahit dan sedikit mengganggu telinga masyarakat, akan tetapi calon Presiden dan kepala daerah yang mendapatkan rekomendasi partai pun seolah-olah membiarkan bercampurnya DNA negatif yang sebenarnya mengganggu atmosfer kerukunan antar umat beragama yang telah lama menjadi budaya bangsa. Demi kemenangan untuk menduduki suatu jabatan, maka para calon pejabat negara ini sering sedikit melunak untuk membiarkan keberadaan intoleransi ini tumbuh dan berkembang.
Kita pun dikejutkan pada aksi klaim-klaiman masa yang diakui oleh mereka bahwa keberadaan masa dari para penghasut kebencian itu bahkan melebihi jumlah masa partai pemenang pemilu, hal ini tentu saja mencengangkan namun sekaligus ditertawakan oleh banyak politikus kita yang sejak dulu bersusah payang menggalang masa, akan tetapi hasilnya tak kunjung naik secara signifikan. Angka tersebut terlihat sejak pemilu 2004 yang merupakan terselenggaranya pemilihan langsung hingga saat ini, PDI Perjuangan selaku partai pemenang Pemilu pada 2019 saja, hanya meraih 27.053.961 atau 19,33 persen dari suara sah nasional.
Berangkat dari mimpi indah yang selalu didengungkan oleh mereka, kebohongan demi kebohongan pun terus diciptakan agar publik mempercayainya, apalagi dibumbui ancaman dan intimidasi yang dianggap legal bagi pengakuan penafsiran keyakinan yang mereka miliki, walau sumber mazhab yang dipahaminya menjadi berbeda antara kelompok tersebut dengan pihak aswaja yang lebih mengedepankan kecintaannya kepada NKRI. Kemarahan kaum Aswaja ini jelas terlihat dibeberapa pernyataan mereka yang memandang pergerakan intoleransi ini begitu sangat membahayakan keberadaan islam ditanah pertiwi ini.
Sebab bagaimana pun para tokoh agama selaku pendiri bangsa ini yang sejak dahulu lebih mewajibkan agar setiap umatnya lebih mencintai negri ini serta menjadikan kerukunan antar umat adalah landasan kehidupan bagi semua golongan dan memandang berdirinya sistem khilafah tersebut bukanlah sesuatu yang diwajibkan. Sehingga tudingan bahwa gerakan intoleransi ini lebih kepada gerakan politik yang haus akan kekuasaan untuk menghalau kelompok nasionalisme agar keluar dari radius nusantara yang merupakan perjuangan darah dari para leluhurnya pula. Posisi inilah yang acapkali ditegaskan pada setiap aktifitas NU dan Muhammadiyah agar masyarakat mendahulukan ukhwah wathoniyah sebagai kecintaan terhadap bangsa.
Kejadian demi kejadian kasus intoleransi pun hadir menghiasi media pertelevisian Indonesia, para perwakilan dari masing pihak pun terlihat saling berhadap-hadapan, termasuk dari kalangan Muhammadiyah yang diwakili Prof. Anwar Abbas dan dari kalangan NU yang diwakili Nushron Wahid guna membahas tragedy penistaan agama terhadap kalangan umat hindu yang dilakukan oknum HF yang membuang-buang SESAJEN di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru di Lumajang, maka pelakunya pun resmi menjadi tersangka. Polda Jawa Timur akan menyerahkan Hadfana Firdaus (HF) ke Polres Lumajang.
Sosok Hadfana Firdaus yang merupakan tersangka kasus penendangan sesajen di lokasi terdampak erupsi Gunung Semeru itu menjadi viral dimedia sosial saat ini. Sebab betapa tidak, keberanian beliau seakan mengusik keberagaman dan keberagamaan dari semua kalangan aktifis termasuk masyarakat Lumajang yang merasa terusik, hal tersebut dapat kita lihat melalui sikap Bupatinya yang demikian marahnya jika ketentraman masyarakatnya yang terganggu dimana hal tersebut adalah upaya yang dengan susah payah dijaganya dengan muspida terkait agar kedamaian lumajang menjadi kebanggaan masyarakatnya pula.
Jika kelompok intoleransi ini terus dibiarkan, penghasutan dan ujaran kebencian terus marak dimana-mana, mustahil Indonesia akan tetap utuh untuk mempertahankan persatuan dan kesatuan serta mencintai bangsa ini sepenuhnya. Apalagi penyebaran mereka pun telah berada dibeberapa wilayah, yang secara samar sulit dibedakan, yang mana kelompok mereka dan yang mana pula kelompok Aswaja, oleh karena mereka pun menggunakan atribut yang sama dan menyuarakan naiknya fanatisme keagamaan yang dipandang perlu sebagai kekuatan sendi-sendi keagamaan.
Agama adalah jalan untuk siapapun dalam menuju kebaikan dalam memperbaiki diri, sedangkan kebaikan diri yang ditampilkan melalui cara pandang dan akhlak merupakan representasi dari setiap umat beragama, namun jika outputnya malah menjadi kebencian dan kegemaran pada ujaran kebencian dan menghasut pihak manapun serta bertujuan membangun keserakahan pada kekuasaan, tentu saja masyarakat harus berpikir ulang, untuk apa beragama jika hanya dikandaskan oleh prilaku buruk dan malah menyimpang dari norma-norma kebaikan dan kebenaran itu sendiri.
Semoga tulisan ini bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar