Selasa, 30 Mei 2023

MENGAPA MENDENGAR INFORMASI UTANG LUAR NEGERI TERASA BEGITU SENSITIF BAGI OPOSISI

 


MENGAPA MENDENGAR INFORMASI UTANG LUAR NEGERI TERASA BEGITU SENSITIF BAGI OPOSISI

Penulis : Andi Salim
26/05/2023

Mendengar utang luar negeri bukan lagi hal yang menakutkan bagi bangsa ini. Apalagi setelah dominannya penguasaan saham perusahaan-perusahaan asing yang mengelola tambang-tambang kekayaan alam Indonesia termasuk banyaknya pembangunan smelter yang secara mandiri akan di kelola di beberapa kawasan di Indonesia pula. Termasuk ditambah penguatan pendapatan negara melalui program hilirisasi dan hasil kelautan yang saat ini terus merangkak naik dari terusirnya nelayan-nelayan asing serta penenggelaman kapal-kapal mereka jika masih berani memasuki perairan Indonesia. Pendek kata, pendapatan negara kita saat ini jauh melampaui utang luar negeri sehingga jika di ilustrasikan, maka utang luar negeri Indonesia praktis hanya setinggi mata kaki ketika seseorang mengalami kebanjiran. Bahkan tak sedikit pihak yang menyamaratakan Indonesia dengan negara-negara lain yang bangkrut akibat utang, seperti Sri Lanka, Venezuela, Yunani, Ekuador, Argentina dan Zimbabwe.

Persoalan utang luar negeri sebenarnya memiliki panduan dari berlakunya ketentuan yang mengatur ambang batas utang yang ditetapkan berdasarkan petunjuk UU Keuangan Negara, yakni 60 persen dari produk domestik bruto (PDB). Namun entah kenapa, ditengah masyarakat yang awam akan ruang lingkup persoalan ini, serta tragedi krisis moneter yang terjadi akibat gagal bayarnya utang Indonesia kepada IMF pada tahun 1998 silam, menjadikan isu utang luar negeri selalu menjadi sensitif untuk diangkat sebagai informasi yang menghangatkan suhu politik ditengah pusaran pilpres 2024 saat ini. Walau batasan UU tentang ULN ini tak pernah dilampaui semasa pemerintahan JKW, tetap saja isu itu terus diangkat demi menakut-nakuti bahaya laten atas kejadian tahun 1998 yang akan berulang. Dimana dalam pengertiannya, Bahaya laten adalah bahaya yang tetap ada dan tersembunyi untuk waktu yang lama serta bisa muncul sewaktu-waktu.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan per akhir Maret 2023, posisi utang pemerintah tercatat sebesar Rp7.879,07 triliun. Rasio utang yang tercatat sebesar 39,17 terhadap PDB sebenarnya terbilang kecil bila dibandingkan dengan pendapatan negara yang terus meningkat. Sedangkan bila kita menyimaknya dari perolehan APBN sejak 3 tahun terakhir, maka akan dapat kita tarik kesimpulan bahwa Indonesia tidak sama dengan posisi tahun 1998, bahkan pencapaiannya jauh melebihi dari rezim manapun semenjak Indonesia berdiri hingga saat ini. Walau diterpa badai Covid-19, dimana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2020 mengalami defisit Rp 953,3 trilliun. Namun hal itu tidak menjadikan indonesia kedalam resesi ekonomi sebagaimana keguncangan yang dialami oleh negara-negara lain di dunia. Realisasi pendapatan negara sepanjang tahun 2020 masih mencapai Rp1.633,6 triliun.

Belum pulihnya pandemi covid-19 saja, realisasi belanja negara tahun 2021, bahkan mampu memutar balikkan prediksi pengamat jika pada kenyataannya Indonesia mampu memperoleh kekuatan pendapatan APBN sebesar Rp 2.786,41 triliun. Hingga realisasi belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun 2022 kemarin saja mencapai Rp 3.090,8 triliun. Menyandingkan kinerja APBN sebelumnya dengan pencapaian dua tahun sebelumnya, apalagi dengan era krisis moneter tahun 1998 tentu bukanlah hal yang rasional. Sebab awal tahun 2023 ini saja, Indonesia menunjukkan pemulihan ekonomi pasca guncangan Pandemi covid-19 yang semakin ciamik. Bahkan menurut laporan Kementerian Keuangan, kondisi itu tecermin dari pendapatan negara yang mencapai Rp 232,2 triliun pada Januari 2023. Dimana Pendapatan negara naik 48,1% (year/on-year/yoy) ke angka yang lebih tinggi dari Januari 2022 yang sebesar Rp156,7 triliun.

Demikian gigihnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam memaparkan kondisi keuangan negara pada konferensi pers tentang APBN pada Rabu tanggal 22/2/2023 lalu. Hal ini dilakukannya agar persoalan goreng-menggoreng utang luar negeri tidak lagi menjadi komoditi politik yang sengaja dihembuskan lawan politik pemerintah untuk menakut-nakuti apalagi menyudutkan pemerintah dari rendahnya pemahaman masyarakat terhadap situasi dan fakta yang terkait dengan kemampuan pembayaran serta penggunaan ULN tersebut bagi pembangunan nasional, sekaligus pencapaian kinerja ekonomi pemerintahan sekarang. Namun disayangkan, bahwa sekalipun JK pernah berada didalam pemerintahan Jokowi sejak era 2014 hingga 2019, akan tetapi gorengan isu semacam ini tetap saja terlontar dari posisinya yang sekarang sebagai lawan politik JKW yang begitu aktif mendukung pencapresan Anis Baswedan hingga berbagai pernyataannya terkesan berbalik arah.

Sorotan netizen pada layaknya kancil satu ini bukan tanpa alasan, sebab pasca dirinya tak lagi menjabat Wapres, beliau acap kali terdengar nyinyir terhadap berbagai lontaran kritiknya yang mendatangkan kegaduhan tersendiri dari keturunan dari Kahar Muzakar berdasarkan pernyataan mantan Presiden RI Gus Dur yang menyebut bahwa Jusuf Kalla atau JK merupakan keturunan dari tokoh pemberontak DI/TII Kahar Muzakkar, yang pernah viral di media sosial ketika itu. Bahkan tak sedikit pihak yang mengkaitkan duduknya para dewan direksi dan komisaris BUMN selama dirinya menjabat selaku Wakil Presiden adalah orang-orang yang memiliki kedekatan khusus terhadap dirinya. Termasuk beberapa menteri yang beliau pertahankan sebagai barisan pendukungnya pula. Sehingga walau tanpa partai politik, beliau mampu memainkan peran catur politik layaknya kekuatan sebuah partai politik besar yang dimainkannya.

Sebut saja beberapa nama seperti Iqbal Latanro eks Dirut BTN, RJ Lino mantan Dirut PT. Pelindo II, Sofyan Djalil menteri ATR BPN adalah segelintir orang yang diketahui memiliki kedekatan hubungan dengan dirinya. Termasuk kedekatannya kepada Anis Baswedan yang didukungnya pada Pilgub DKI jakarta pada 2017 silam. Belum lagi isu dugaan keterkaitan namanya pada kerugian beberapa perusahaan BUMN yang nyaris mengalami kebangkrutan atau setidaknya mengalami pembengkakan kenaikan NPL pada angka kredit macet yang dialami beberapa bank plat merah milik pemerintah tersebut, seperti bank BRI, bank Mandiri dan bank BTN dimana realisasi pengucuran kredit yang terjadi, diduga sangat erat hubungannya dengan posisi JK selaku wapres tentunya. Sehingga tak heran jika terdapat 23 perusahaan BUMN yang mengalami kerugian selama pemerintahan SBY - JK berkuasa.

Anehnya, pada tahun 2014 dan 2015 tercatat sebanyak 26 perusahaan pelat merah tersebut masih mengalami kondisi yang merugi. Total kerugian dari 26 BUMN tersebut mencapai Rp 11,7 triliun. Ini pun terjadi semasa JK menjabat selaku Wakil Presidennya. Akhir kata, Kita memang tidak boleh menuduh seseorang secara serampangan, namun kita pun harus mencermati berbagai persoalan terutama hal-ha yang terkait dengan sepak terjang politik seseorang, sejauh mana dampak ekonomi yang terhubung dengan konsekuensi politik yang diperankannya. Adakah seseorang itu datang sebagai pihak yang menguntungkan bangsa dan negara ini, atau malah sebaliknya justru mendatangkan musibah dan kerugian disana sini. Pada posisi inilah penulis ingin membangun kecerdasan dan kecermatan dalam berpikir sekaligus menelaah apa dan bagaimana seharusnya keputusan politik rakyat itu menentukan kepada siapa dan pihak mana masyarakat itu berpihak.

Semoga tulisan ini bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...