12/02/2023
MEMEGANG TEGUH SIKAP BERTOLERANSI DITENGAH HOPE AND BELIEVE TERHADAP PILAR KEBANGSAAN
Penulis : Andi Salim
Sikap malu-malu untuk menyampaikan sikap bertoleransi yang sering disudutkan pada pemahaman bahwa hal itu lebih kepada pengertian saling menghormati dan menghargai perbedaan terutama sisi keagamaan. Nampaknya mulai terkuak, seruan akan dorongan agar mengembalikan iklim toleransi tersebut mau tidak mau harus disikapi oleh para kaum muslimin terutama mereka yang menjadi tokoh-tokoh agama dan para mubalighnya jika tidak ingin disebut sebagai sikap intoleransi pada agama lain. Sebab perdebatan kearah itu sudah berakhir, bahwa ajakan tasamuh yang berarti toleransi sebenarnya memang sudah ada didalam ajaran islam itu sendiri yang sulit untuk dipungkiri oleh dalil apapun.
Apalagi dibalik pengertian yang luas, bahwa toleransi itu menampilkan budi pekerti yang luhur dari kesediaan para pejuang bangsa ini yang rela mendudukkan sila pertama dalam Pancasila untuk menempatkan rasa berketuhanan yang sama meski dari keyakinan dan agama yang berbeda pun telah selesai disepakati. Tentu salah satu sumber pijakan umat islam adalah perjanjian Najran disamping banyak dalil-dalil yang dapat dijadikan pegangan. Ditambah lagi sederet tokoh pergerakan islam yang memang menyediakan golongan agama lain untuk tetap mendapatkan porsi yang diakui keberadaannya sehingga mereka pun acapkali dilindungi untuk melakukan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.
Selain tokoh-tokoh Islam dari kalangan pesantren seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Masjkur, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Idham Chalid, terdapat pula sosok yang tak kalah pentingnya, bahwa Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo, yang kala itu diajak berdialog oleh Moch Hatta untuk merumuskan Pancasila. Dimana rumusan sila pertama pada Pancasila yang tadinya menyebutkan ‘ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ oleh Ki Bagus Hadi Kusumo telah memberikan solusi dengan rumusan yang sekarang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hal itu menampakkan bahwa para ulama dan Tokoh-tokoh agama islam saat itu memang memandang perlunya apresiasi bagi kelompok non muslim tersebut.
Dalam konteks tersebut, meskipun waktu itu keadaan indonesia sama dengan masa kini, dimana mayoritas masyarakat indonesia pun memang telah menjadi pemeluk agama islam, namun ruang toleransi yang diberikan begitu terasa hangat, hingga dimasukkan kedalam butir Pancasila yang disediakan bagi golongan umat agama dan keyakinan lain yang berbeda. Walau kita mengakui bahwa situasi demokrasi saat ini telah berimplikasi munculnya partai yang meninggalkan azas tunggal Pancasila, sehingga mengganggu keutuhan integrasi bangsa, yang mana peran agama telah masuk kedalam politik praktis yang disinyalir sebagai kontributor negatif atas peran disintegrasi bangsa yang terjadi. Hal itu dibuktikan dari naiknya suhu politik identitas demi mendulang cerukan suara ditengah masyarakat kita.
Faktor kesenjangan sosial ekonomi yang merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan layanan dan kesempatan ditengah masyarakat. Memicu terjadinya perbedaan yang mencolok antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Ketimpangan sosial ini mengakibatkan ketidak adilan dan pengaruh sosial di lingkungan masyarakat. Sehingga menimbulkan terbatasnya kesempatan usaha serta memicu kemiskinan dimana-mana. Belum lagi faktor pembangunan yang tidak merata tentu saja menyebabkan laju ekonomi diberbagai kawasan semakin sulit hingga menciptakan kecemburuan bagi mayoritas penduduk miskin yang hanya memperoleh sistem transportasi dan fasilitas jalan yang begitu parah serta terpencil.
Jika pun masyarakat kita masih ada yang memahami tonggak persatuan dan kesatuan melalui pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD45, Bhineka Tunggal Ika serta NKRI, namun hal itu hanyalah sebatas simbol bagi berdirinya kedaulatan negara semata, cerminan kearah bagaimana pilar-pilar tersebut berdiri dari sikap gotong royong sebagaimana tradisi asli bangsa ini, belumlah dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Terbukti bahwa sebagian dari masyarakat pun masih berpeluang untuk menyukai ideology lain dari perspektif yang berbeda yang dijadikan pijakan melalui penerapan ideology keagamaan yang bersifat universal. Maka tidaklah mengherankan jika ideology transnasional ini begitu dipahami secara dangkal oleh generasi muda kita, tanpa melihat pentingnya makna kebersamaan untuk merawat 4 pilar tersebut sebagai benteng pengaman negri ini.
Begitu mudahnya orientasi masyarakat untuk meninggalkan pilar-pilar kebangsaan itu tentu merupakan arus balik dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi dari kurun waktu yang panjang sejak kemerdekaan RI, sehingga setiap warga bangsa dapat saja ramai-ramai meninggalkan 4 pilar kebangsaan itu yang bahkan sebagian dari mereka mengibaratkan bagaikan menu makanan tradisional yang sulit dalam proses penyajian dan pengolahannya, dimana saat ini begitu banyak tersedianya makanan cepat saji yang membuat masyarakat kita semakin mengambil pilihan pada hal-hal yang bersifat praktis untuk langsung disantap tanpa bumbu-bumbu yang menyertai proses pembuatan dari menu-menu yang rumit dan kompleks dari sekedar menambah aroma dan taste yang tidak lagi mengikat selera makan mereka.
Naiknya konservatisme agama, tentu sebagai bobot kekuatan berbeda, yang tidak dapat dipandang sebelah mata serta ringkas dalam memandang apa yang terseret kedalamnya, sebab belakangan pun timbul persinggungan terhadap budaya, seni dan sisi peribadatan yang saling berbenturan dari persepsi keyakinan masing-masing. Apalagi proses pengayaan 4 pilar yang menjadi andalan kebangsaan itu tidak lagi secara agresif dan progresif untuk terus ditanamkan bagi generasi muda yang belum paham terhadap wujud kebangsaannya, bahkan keberadaan BPIP sebagai lembaga yang diandalkan pemerintah saat ini saja masih sebatas awang-awang yang belum menapak disemua instrumen kelembagaan dari komunitas masyarakat Indonesia, Surutnya sikap Toleransi antar sesama komponen yang semestinya dipandang sebagai faktor terpenting bagi upaya merawat kebhinekaan itu hampir sama sekali hanya sebatas himbauan semata.
Indoktrinasi sebagai sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu, semakin memeriahkan asumsi-asumsi pembenaran pada hal-hal tertentu, bilangan benar dan salah, baik dan betul seakan-akan ikut menyamarkan nilai-nilai yang menjanjikan keluhuran dari sederet panjangnya tujuan mana yang perlu dicapai, pola berfikir yang didasari pragmatisme untuk sekedar solusi sesaat pun menjadi hal yang lumrah demi saling menguatkan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pada akhirnya kekuatan pengetahuan, wawasan berpikir yang luas serta mempersiapkan segala sesuatu demi membangun benteng pilar-pilar bangsa itu hanya menghantarkan kita untuk percaya bahwa bangsa ini akan mampu menyelesaikan masalahnya.
Jika kesadaran untuk mempertahankan nilai-nilai kebangsaan itu tidak lagi menjadi keinginan dari tujuan bernegara yang terlihat pada surutnya upaya itu untuk ditanamkan sebagai dermaga akhir bagi generasi muda kita, maka yang tertinggal hanyalah kata HOPE yang mana kata itulah yang merupakan simbol bagi masyarakat untuk menjadi pengganti atas ketidakadilan, ketimpangan sosial dan ekonomi, penegakan hukum yang terus tajam ke bawah, serta intimidasi bagi hilangnya sikap Toleransi sebagai cara merawat kebhinekaan itu ditengah masyarakat kita saat ini. Pada gilirannya, sikap yang pasif itu akan menyatu dalam harapan melalui keyakinan untuk menjadi BELIEVE ( percaya saja ) tanpa melakukan apapun guna menangkal atau memperbaiki keadaannya.