Kamis, 23 Februari 2023

MEMEGANG TEGUH SIKAP BERTOLERANSI DITENGAH HOPE AND BELIEVE TERHADAP PILAR KEBANGSAAN

12/02/2023

MEMEGANG TEGUH SIKAP BERTOLERANSI DITENGAH HOPE AND BELIEVE TERHADAP PILAR KEBANGSAAN

Penulis : Andi Salim


Sikap malu-malu untuk menyampaikan sikap bertoleransi yang sering disudutkan pada pemahaman bahwa hal itu lebih kepada pengertian saling menghormati dan menghargai perbedaan terutama sisi keagamaan. Nampaknya mulai terkuak, seruan akan dorongan agar mengembalikan iklim toleransi tersebut mau tidak mau harus disikapi oleh para kaum muslimin terutama mereka yang menjadi tokoh-tokoh agama dan para mubalighnya jika tidak ingin disebut sebagai sikap intoleransi pada agama lain. Sebab perdebatan kearah itu sudah berakhir, bahwa ajakan tasamuh yang berarti toleransi sebenarnya memang sudah ada didalam ajaran islam itu sendiri yang sulit untuk dipungkiri oleh dalil apapun.
Apalagi dibalik pengertian yang luas, bahwa toleransi itu menampilkan budi pekerti yang luhur dari kesediaan para pejuang bangsa ini yang rela mendudukkan sila pertama dalam Pancasila untuk menempatkan rasa berketuhanan yang sama meski dari keyakinan dan agama yang berbeda pun telah selesai disepakati. Tentu salah satu sumber pijakan umat islam adalah perjanjian Najran disamping banyak dalil-dalil yang dapat dijadikan pegangan. Ditambah lagi sederet tokoh pergerakan islam yang memang menyediakan golongan agama lain untuk tetap mendapatkan porsi yang diakui keberadaannya sehingga mereka pun acapkali dilindungi untuk melakukan ibadah sesuai agama dan keyakinannya.
Selain tokoh-tokoh Islam dari kalangan pesantren seperti KH Hasyim Asy'ari, KH Wahid Hasyim, KH Abdul Wahab Chasbullah, KH Masjkur, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Idham Chalid, terdapat pula sosok yang tak kalah pentingnya, bahwa Ketua PP Muhammadiyah Ki Bagus Hadi Kusumo, yang kala itu diajak berdialog oleh Moch Hatta untuk merumuskan Pancasila. Dimana rumusan sila pertama pada Pancasila yang tadinya menyebutkan ‘ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ oleh Ki Bagus Hadi Kusumo telah memberikan solusi dengan rumusan yang sekarang berbunyi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Hal itu menampakkan bahwa para ulama dan Tokoh-tokoh agama islam saat itu memang memandang perlunya apresiasi bagi kelompok non muslim tersebut.
Dalam konteks tersebut, meskipun waktu itu keadaan indonesia sama dengan masa kini, dimana mayoritas masyarakat indonesia pun memang telah menjadi pemeluk agama islam, namun ruang toleransi yang diberikan begitu terasa hangat, hingga dimasukkan kedalam butir Pancasila yang disediakan bagi golongan umat agama dan keyakinan lain yang berbeda. Walau kita mengakui bahwa situasi demokrasi saat ini telah berimplikasi munculnya partai yang meninggalkan azas tunggal Pancasila, sehingga mengganggu keutuhan integrasi bangsa, yang mana peran agama telah masuk kedalam politik praktis yang disinyalir sebagai kontributor negatif atas peran disintegrasi bangsa yang terjadi. Hal itu dibuktikan dari naiknya suhu politik identitas demi mendulang cerukan suara ditengah masyarakat kita.
Faktor kesenjangan sosial ekonomi yang merupakan suatu keadaan ketidakseimbangan layanan dan kesempatan ditengah masyarakat. Memicu terjadinya perbedaan yang mencolok antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah. Ketimpangan sosial ini mengakibatkan ketidak adilan dan pengaruh sosial di lingkungan masyarakat. Sehingga menimbulkan terbatasnya kesempatan usaha serta memicu kemiskinan dimana-mana. Belum lagi faktor pembangunan yang tidak merata tentu saja menyebabkan laju ekonomi diberbagai kawasan semakin sulit hingga menciptakan kecemburuan bagi mayoritas penduduk miskin yang hanya memperoleh sistem transportasi dan fasilitas jalan yang begitu parah serta terpencil.
Jika pun masyarakat kita masih ada yang memahami tonggak persatuan dan kesatuan melalui pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD45, Bhineka Tunggal Ika serta NKRI, namun hal itu hanyalah sebatas simbol bagi berdirinya kedaulatan negara semata, cerminan kearah bagaimana pilar-pilar tersebut berdiri dari sikap gotong royong sebagaimana tradisi asli bangsa ini, belumlah dapat diwujudkan sebagaimana mestinya. Terbukti bahwa sebagian dari masyarakat pun masih berpeluang untuk menyukai ideology lain dari perspektif yang berbeda yang dijadikan pijakan melalui penerapan ideology keagamaan yang bersifat universal. Maka tidaklah mengherankan jika ideology transnasional ini begitu dipahami secara dangkal oleh generasi muda kita, tanpa melihat pentingnya makna kebersamaan untuk merawat 4 pilar tersebut sebagai benteng pengaman negri ini.
Begitu mudahnya orientasi masyarakat untuk meninggalkan pilar-pilar kebangsaan itu tentu merupakan arus balik dari ketimpangan sosial dan ekonomi yang terjadi dari kurun waktu yang panjang sejak kemerdekaan RI, sehingga setiap warga bangsa dapat saja ramai-ramai meninggalkan 4 pilar kebangsaan itu yang bahkan sebagian dari mereka mengibaratkan bagaikan menu makanan tradisional yang sulit dalam proses penyajian dan pengolahannya, dimana saat ini begitu banyak tersedianya makanan cepat saji yang membuat masyarakat kita semakin mengambil pilihan pada hal-hal yang bersifat praktis untuk langsung disantap tanpa bumbu-bumbu yang menyertai proses pembuatan dari menu-menu yang rumit dan kompleks dari sekedar menambah aroma dan taste yang tidak lagi mengikat selera makan mereka.
Naiknya konservatisme agama, tentu sebagai bobot kekuatan berbeda, yang tidak dapat dipandang sebelah mata serta ringkas dalam memandang apa yang terseret kedalamnya, sebab belakangan pun timbul persinggungan terhadap budaya, seni dan sisi peribadatan yang saling berbenturan dari persepsi keyakinan masing-masing. Apalagi proses pengayaan 4 pilar yang menjadi andalan kebangsaan itu tidak lagi secara agresif dan progresif untuk terus ditanamkan bagi generasi muda yang belum paham terhadap wujud kebangsaannya, bahkan keberadaan BPIP sebagai lembaga yang diandalkan pemerintah saat ini saja masih sebatas awang-awang yang belum menapak disemua instrumen kelembagaan dari komunitas masyarakat Indonesia, Surutnya sikap Toleransi antar sesama komponen yang semestinya dipandang sebagai faktor terpenting bagi upaya merawat kebhinekaan itu hampir sama sekali hanya sebatas himbauan semata.
Indoktrinasi sebagai sebuah proses yang dilakukan berdasarkan satu sistem nilai untuk menanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu, semakin memeriahkan asumsi-asumsi pembenaran pada hal-hal tertentu, bilangan benar dan salah, baik dan betul seakan-akan ikut menyamarkan nilai-nilai yang menjanjikan keluhuran dari sederet panjangnya tujuan mana yang perlu dicapai, pola berfikir yang didasari pragmatisme untuk sekedar solusi sesaat pun menjadi hal yang lumrah demi saling menguatkan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Sehingga pada akhirnya kekuatan pengetahuan, wawasan berpikir yang luas serta mempersiapkan segala sesuatu demi membangun benteng pilar-pilar bangsa itu hanya menghantarkan kita untuk percaya bahwa bangsa ini akan mampu menyelesaikan masalahnya.

Jika kesadaran untuk mempertahankan nilai-nilai kebangsaan itu tidak lagi menjadi keinginan dari tujuan bernegara yang terlihat pada surutnya upaya itu untuk ditanamkan sebagai dermaga akhir bagi generasi muda kita, maka yang tertinggal hanyalah kata HOPE yang mana kata itulah yang merupakan simbol bagi masyarakat untuk menjadi pengganti atas ketidakadilan, ketimpangan sosial dan ekonomi, penegakan hukum yang terus tajam ke bawah, serta intimidasi bagi hilangnya sikap Toleransi sebagai cara merawat kebhinekaan itu ditengah masyarakat kita saat ini. Pada gilirannya, sikap yang pasif itu akan menyatu dalam harapan melalui keyakinan untuk menjadi BELIEVE ( percaya saja ) tanpa melakukan apapun guna menangkal atau memperbaiki keadaannya.

FAKTA PEMBANGUNAN DIBALIK KRITIK DAN SARAN KEMAJUANNYA

TOLERANSI INDONESIA
14/02/2023

FAKTA PEMBANGUNAN DIBALIK KRITIK DAN SARAN KEMAJUANNYA
Penulis : Andi Salim
Apakah kita masih ragu terhadap situasi ekonomi Indonesia dimasa Jokowi yang kaitannya terhadap kemampuan pembayaran utang pemerintah saat ini menembus angka 7.733 trilyun hingga mencapai 39,57 persen terhadap PDB pada tahun 2022 ini. Jawaban dari mereka yang berani menyandingkan fakta-fakta terhadap data-data lain yang menunjang pembayarannya, tentu saja tidak. Fakta tersebut bisa terlihat atas kenaikan perolehan laba BUMN yang menunjukan lompatan peningkatan dari Rapat Dengar Pendapat dengan DPR pada 7 juni 2022 lalu sebagaimana yang disampaikan Menteri BUMN Erick Thohir menyebutkan bahwa laba BUMN pada 2021 mencapai Rp.126 triliun, dimana nilai itu meningkat dari laba tahun 2020 yang senilai Rp.13 triliun. Hingga pada 2022 kemaren menorehkan prestasinya sebesar 303,7 trilyun. Inilah fakta bahwa angka-angka ini merupakan realisasi kebanggaan kita menuju kejayaan NKRI kedepan.
Apalagi potensi hilirisasi kekayaan tambang kita yang diatur melalui UU minerba serta pengetatannya melalui Perpres guna menghambat eksport bahan mentah untuk dijadikan produk konsentrasi yang kaya akan mineral berharga sebagai hasil pemisahan dari pengolahan mineral bijih. Bahkan semakin optimis ketika pembangunan Smelter telah direalisasikan sejak 2021 lalu hingga Indonesia memiliki 21 smelter, dan direncanakan akan bertambah 7 smelter pada tahun 2022 kemaren, hingga ditargetkan pada tahun2024 nanti, dimana Indonesia akan memiliki 53 Smelter yang tersebar diberbagai daerah. Belum lagi menyimak dari apa yang disampaikan kementerian ESDM yang menyampaikan catatannya bahwa total cadangan minyak Indonesia sebesar 3,95 miliar barel pada 2021. Jumlah itu terdiri dari cadangan terbukti sebanyak 2,25 miliar barel dan cadangan potensial 1,7 miliar barel. Besarnya cadangan tersebut menyiratkan betapa kayanya bangsa dan negara kita sesungguhnya.
Praktis, hanya mereka yang buta aksara saja pesimis terhadap ULN oleh karena mereka sering menutup mata dan menyumpal telinganya hingga semakin teguh pada pendapatnya yang sengaja menutup informasi semacam itu. Sebab bagaimana pun, kekhawatiran akan Utang Luar Negeri harus disandingkan dengan kemampuan bayarnya. Apalagi dibalik fakta yang begitu terasa saat ini, bahwa krisis ekonomi yang melanda beberapa negara didunia dirasakan tidak mempengaruhi situasi ekonomi di Indonesia. Meskipun saat ini terjadi kontraksi kenaikan harga kebutuhan pokok, namun hal itu biasa terjadi khususnya pada momentum menjelang lebaran sebagaimana rutinitas pada setiap tahunnya. Bahkan inflasi Indonesia per Juli 2022 lalu sebesar 4,94 persen (yoy), sebelum kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM subsidi yang membebani APBN hingga Rp 502 triliun.
Berbagai kemajuan pun mau tidak mau harus kita akui bahwa Indonesia saat ini memang mengalami peningkatan diberbagai sektor ekonominya, meski kita tidak tutup mata bahwa masih terdapat banyak kelemahan terutama pola efisiensi dan optimalisasi kinerja daerah yang dinilai masih lamban. Sebab, tidak semua pembangunan daerah tertuju pada pengembangan sektor ekonomi dan keuangan, bahkan ada beberapa daerah yang malah didapati masih menahan realisasi anggaran dari transfer pemerintah pusat ke daerah yang semestinya melakukan penerapan serapan anggaran hingga 30 September 2022 lalu, dimana dana yang sudah tersalur dari pusat sebesar Rp 552,6 triliun nyatanya masih tertahan di kas daerah sehingga menghambat kemajuan masyarakat yang semestinya berpengaruh pada iklim usaha rakyat, atau paling tidak hal itu berdampak pada sirkulasi uang yang beredar dari aktifitas ekonomi yang akan bertumbuh.
Belum lagi realisasi dana KUR yang dikucurkan pun tidak merata bagi setiap peserta UMKM guna memanfaatkan fasilitas ini sebagai sarana pengembangan usaha rakyat, akibat lemahnya kerjasama antara pemerintah daerah dengan cabang-cabang perbankan di kawasannya. Pola integritas yang terpatah-patah ini disebabkan kemampuan rendahnya manajerial dari kepemimpinan eksekutif daerah yang berbasis birokrasi semata. Sehingga tidak tampak kecepatan kerjanya yang setara pada jargon "time is money" sebagaimana yang biasa didengungkan oleh kalangan usahawan swasta. Maka tak heran jika berbagai sistem pelayanan publik yang semakin antri dan berderet panjang, mereka timpali dengan kekakuan prosedur pelayanannya. Artinya, bukankah aparatur dinas terkait yang semestinya melakukan pengembangan pelayanan dengan menambah loket atau jam kerjanya.
Namun faktanya justru masyarakatlah yang harus mendaftarkan diri sejak subuh hari demi memperoleh nomor antrian kesehatan mereka. Hal ini menampakkan bahwa masyarakat harus paham bahwa waktu para PNS itu lebih berharga daripada waktu rakyat jelata yang terbuang akibat pembatasan nomor antrian, termasuk mendapatkan nomor antrian yang dibutuhkannya. Padahal, jika RSUD dan Puskesmas itu dioperasionalkan oleh pihak swasta dengan harga komersil, tentu mereka akan mengembangkan sistem pelayanannya agar lebih banyak menampung pasien dan memperpanjang jam kerjanya hingga 24 jam tanpa henti. Akan tetapi, oleh karena Puskesmas dan RSUD itu berstatus penyelenggaraan pelayanan pemerintah yang harus murah dibalik pembiayaannya yang berasal dari kontribusi pajak rakyat, maka pelayanan yang timbul pun dengan semaunya dijalankan tanpa melihat kepentingan rakyat kecil yang membutuhkannya.
Banyaknya pemberlakuan pembatasan jam pelayanan yang memaksa rakyat harus antri sejak waktu subuh itu begitu sangat mengganggu terutama kalangan ibu-ibu dan para lansia yang harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga mereka guna mempersiapkan segala sesuatunya dirumah. Dimana pada jam-jam tersebut justru mereka acapkali sibuk untuk mempersiapkan putra-putri mereka yang harus berangkat sekolah, serta suami-suami mereka yang akan berangkat bekerja. Baru setelah segalanya diselesaikan, mereka akan mengurus dirinya sendiri guna memperoleh kesehatannya yang tentu saja mereka memang sesuai selaku pasien puskesmas dan RSUD yang diperuntukkan bagi kalangan penderita penyakit ringan seperti pasien yang mengalami gangguan penyakit gigi, bisul, batuk pilek, demam ringan, iritasi kulit dan lain sebagainya yang tidak membutuhkan operasi serta penanganan kedaruratan medis.
Segelintir persoalan yang sangat melekat dan dibutuhkan masyarakat itu seakan sulit diselesaikan dengan prestasi yang memuaskan, bahkan tak jarang sering pula menjadi banjakan bagi mereka yang haus serta serakah akan kekuasaan, sehingga acapkali masalah stabilitas harga bahan pangan, fasilitas Kesehatan dan sarana pendidikan ini dijadikan permainan politik kotor dari mereka yang miskin gagasan itu hingga menjadikannya komoditas politik pula pada akhirnya. Pasokan negarawan yang minim itu dialami oleh beberapa daerah baik pada level jabatan Gubernur, Walikota dan Bupati, apalagi golongan legislatif layaknya Kebo Nyonyor yang siap mengikuti kemana arah tuan pengembalanya menarik kendali. Sehingga pola desentralisasi kekuasaan atau biasa kita kenal dengan sebutan Otonomi daerah menjadi fakta yang mengkhawatirkan terhadap kebocoran anggaran disana sini, sekalipun Presiden yang kita dapati saat ini telah konsisten berintegritas tinggi dan memiliki kejujuran yang baik sebagaimana yang kita harapkan.
Naiknya fitnah, pemberitaan hoaks dan pertentangan argumentasi dangkal pun menyeruak disana sini dibalik lemahnya transparansi yang sengaja dimainkan oleh penguasa kebijakan diberbagai daerah hingga menyuburkan perpecahan diberbagai wilayah. Belum lagi isu politisasi agama yang menyebarkan semerbak intoleransi yang tidak saja bagi kalangan agama yang berbeda, namun telah pula merambah dikalangan umat islam sendiri melalui perbedaan aliran serta mazhabnya, termasuk tajamnya sasaran gerakan ideologi transnasional yang merasuki Indonesia dalam membaca kelemahan bangsa ini untuk menciptakan efek domino bagi surutnya pertahanan budaya hingga penghilangan sejarah bangsa demi meruntuhkan ketahanan nasionalisme yang selama ini membungkus kebhinnekaan dalam wadah ideologi tunggalnya yaitu Pancasila. Inilah sesungguhnya wujud keprihatinan bagi kita semua tentunya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.


TERHADAP KASUS TERBUNUHNYA JOSHUA SIAPAKAH YANG UNTUNG

16/02/2023

TERHADAP KASUS TERBUNUHNYA JOSHUA SIAPAKAH YANG UNTUNG
Penulis : Andi Salim
Menanggapi rangkaian proses hukum dibalik sidang kasus tragedy pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat, terdapat sisi-sisi hikmah yang mengiringi perenungan kita dalam menanggapi vonis hukum terhadap 5 terdakwa yang dibacakan oleh 3 hakim dalam menyampaikan nota keputusannya. Sekalipun belum inkracht oleh karena masih ada peluang untuk melakukan banding pada tingkat pengadilan tinggi serta kemuningkinan kasasi pada sidang Mahkamah Agung nantinya, namun kelima tersangka pembunuhan berencana dalam kasus tersebut yaitu : Ferdy Sambo, Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf, dan Putri Candrawathi (istri Sambo), seluruhnya telah dinyatakan bersalah hingga vonis hukum pun telah dijatuhkan hakim.
Pengungkapan kasus pembunuhan Brigadir Joshua ini tidak hanya menyeret Ferdy Sambo. Namun sejumlah petinggi polri pun menjadi sorotan publik. Mereka yang terlibat dalam persekongkolan tersebut juga turut diberhentikan. Berdasarkan keterangan Irwasum Polri Komjen Agung Budi Maryoto, sedikitnya terdapat 83 polisi telah diperiksa secara khusus dan 35 orang di antaranya direkomendasikan dikurung di tempat khusus. Mereka diduga kuat terlibat dalam skenario menutup-nutupi dan menghalangi penyidikan kasus ini sejak awal. Respon Menko Polhukam Mahfud Md yang menyebut bahwa soal motif, biar nanti dikonstruksi hukumnya karena itu sensitif. Demikian ungkap Mahfud MD dalam konferensi pers di Kemenko Polhukam, pada Selasa tanggal 9/8/2022.
Pada pembacaan tuntutan atas kelima terdakwa yang dinilai jaksa terbukti bersalah dalam melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap Josua yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana diatur dan diancam dalam dakwaan Pasal 340 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP. Terhadap kasus ini, pihak JPU membacakan tuntutan pidana kepada tersangka Ferdy Sambo dengan Pidana penjara seumur hidup. Sedangkan terhadap putri candrawati dituntut pidana penjara selama 8 tahun. Sedangkan terhadap Kuat Ma'ruf pidana penjara 8 tahun. Dan tuntutan terhadap Ricky Rizal yaitu pidana penjara selama 8 tahun. Sedangkan terhadap Bharada Richard Eliezer meski beliau selaku Justice Collaborator tuntutan penjara pidana pun disampaikan kepada majelis hakim agar menghukum dirinya selama 12 tahun penjara.
Rangkaian pembacaan putusan sidang pun dibacakan melalui 3 hakim yang diketuai hakim Wahyu Iman Santoso yang mengetuk palunya melalui berbagai pertimbangan dari keterangan saksi-saksi dan para ahli yang dihadirkan, serta alat bukti termasuk rangkaian peristiwa yang terkait antara tersangka satu dengan lainnya, sehingga menjatuhi hukuman terhadap tersangka Ferdy Sambo dengan vonis pidana mati, dan terhadap tersangka Putri Candrawathi dengan vonis pidana penjara selama 20 tahun, terhadap tersangka Kuat Ma'ruf dengan vonis pidana penjara selama 15 tahun, kepada Ricky Rizal dengan vonis pidana penjara selama 13 tahun. Adapun terhadap Bharada Richard Eliezer dengan vonis pidana penjara 1,6 tahun selaku justice collaborator.
Para pihak pengacara yang melakukan pembelaan terhadap masing-masing tersangka pun tentu ada yang merasa puas, namun ada pula yang justru menyayangkannya. Tudingan Jaksa terhadap para penasihat hukum Ferdy Sambo, Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf yang memiliki tim kuasa hukum yang sama sehingga logika berpikirnya sudah tidak rasional, bahkan hanya berusaha mengaburkan peristiwa pembunuhan berencana dalam kasus ini. Ditanggapi oleh tim kuasa hukum mereka yang menyebutkan bahwa JPU seharusnya memiliki bukti yang mendukung dakwaannya, bukan lantas menyerang penasihat hukum. Termasuk ketika mereka mendengarkan Vonis hakim sebagaimana ungkapan Pengacara Ferdy Sambo, Rasamala Aritonang, yang mengatakan putusan hakim tersebut mencabut nyawa terdakwa.
Harapan terhadap peradilan kasus ini agar diungkap secara terang benderang dan seadil-adilnya dalam proses persidangannya tentu tidak saja datang dari keluarga pelaku dan korban, namun masyarakat dan pemerintah pun menunggu-nunggu agar segalanya menemukan fakta kebenaran dibalik polemik yang menyelimutinya. Respon Presiden yang telah 4 kali menanggapi pertanyaan mengenai kasus ini menjadi sinyal penting bahwa Jokowi memperhatikan perlunya reformasi di tubuh Polri. Secepat kilat, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun menyampaikan permohonan maafnya kepada pihak keluarga korban dan publik berkaitan dengan terjadinya kasus pembunuhan Brigadir J yang bahkan sempat menurunkan rating kepercayaan publik terhadap institusi mereka.
Pada akhirnya, sidang tingkat pertama telah selesai dan hasilnya pun sebagaimana yang kita ketahui bersama. Namun catatan yang menjadi perenungan bagi kita semua, bahwa setinggi apapun jabatan yang diemban seseorang, tentu tidak mampu melindungi dirinya dari kejaran hukum yang akan menjeratnya. Penguasaan dan pengendalian emosional adalah jalan menuju keselamatan bagi siapa pun, dimana kesabaran akan merespon berbagai persoalan tidak diluapkan melalui kemarahan yang berujung pada lenyapnya nyawa orang lain yang membawa dirinya sebagai tersangka hingga terdakwa pada akhirnya. Jika sudah demikian, maka kita baru menyadari bahwa penyelesaian persoalan melalui cara itu hanya berujung dengan mengorbankan diri sendiri serta keluarga yang terpisahkan oleh penjara bagi pelakunya.
Bahwa persidangan untuk mendapatkan keadilan ditengah jeratan kasus hukum begitu banyak melibatkan emosi masyarakat. Terlepas dari menang atau kalah, ringan atau berat vonis hukumannya, tetap saja hal itu merupakan dampak dari sebuah perbuatan yang disesali para pelakunya. Mereka tidak saja harus berpisah dengan keluarga, putra dan putrinya, atau para handai taulan yang semestinya hal itu tidak perlu terjadi. Hal ini semestinya menyentakkan siapa pun para pejabat yang saat ini berkuasa. Apalagi mereka yang sedang asyik menikmati kelancaran aksi korupsinya, namun ketahuilah bahwa bila masanya tiba, mereka pun akan meninggalkan luka bagi keluarganya pula. Inilah sebuah perenungan yang dibutuhkan bagi mereka yang mendapati kesenangan terhadap kejahatannya yang belum terungkap.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

MENIMBANG SOSOK PROFESIONAL VERSUS KOMUNITAS POLITIKUS

TOLERANSI INDONESIA
19/02/2023

MENIMBANG SOSOK PROFESIONAL VERSUS KOMUNITAS POLITIKUS
Penulis : Andi Salim
Semakin aneh saja republik ini tatkala melihat fakta bahwa pejabat dengan kualitas rendah banyak mengisi jabatan publik. Hal ini tentu saja merugikan masyarakat dan bangsa ini sendiri, sebab mereka yang semestinya memperlihatkan prestasinya, kini justru menimbulkan kemerosotan dari berbagai bidang yang diharapkan. Terlebih lagi pada pemupukan sikap nasionalisme kebangsaan yang seharusnya kedudukan pejabat menampakkan sikap yang netral oleh karena statusnya sebagai kepanjangtanganan negara, malah diseret kearah fanatisme beragama melalui berbagai kebijakannya. Hal ini pada gilirannya akan mengabaikan upaya integritas semu bagi tegaknya kedaulatan negara yang pada akhirnya membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.
Semangat pengabdian terhadap bangsa dan negara pun kini telah berubah hingga terlihat sebaliknya. Artinya, siapapun yang duduk selaku pejabat publik, maka dirinyalah yang berkompeten atas kemana dan untuk tujuan apa kekayaan negara itu diperuntukkan. Walau secara garis besar UU menyebutkan bahwa hal itu sebesar-besarnya demi kesejahteraan rakyat, namun pada kenyataannya mereka malah memberikan peluang itu bagi para kroni mereka semata yang notabenenya disebut sebagai rakyat pula. Pemahaman rakyat yang sempit semacam ini tak lebih dari sekelompok orang-orang yang merupakan kelompok pelanggeng kekuasaan mereka sendiri. Upaya ini berujung pada maraknya estafet kekuasaan dari mereka dan untuk kelompok mereka pula.
Potensi politik dinasty yang nyata-nyata menyumbat arus demokrasi seakan dilegalkan. Jika selama ini kita dihantui dengan kapitalisme yang memonopoli resources sumber daya alam yang tersedia. Faktanya konstruksi politik dinasty justru dibiarkan subur dan malah mendapat karpet merah untuk didukung oleh publik. Penyebabnya tak lain kesadaran masyarakat yang rendah tentang bahaya dibalik tujuan dari monopoli kekuasaan itu. Jika para kapitalisme memborong semua SDA yang tersedia, maka politik dinasty akan memborong semua potensi suara demokrasi yang ada. Sehingga, semakin besar suara publik yang mereka borong, maka semakin tinggi kekuasaan itu yang bisa mereka peroleh. Jika suara rakyat telah dikuasai, lantas faktor apalagi sesungguhnya yang bisa menghambat mereka.
Dampaknya, sumbatan sistem demokrasi yang mereka kembangkan melalui politik dinasty itu tentu menciptakan kelumpuhan fatal dan gagalnya tujuan murni dari desentralisasi kekuasaan sebagai distribusi kewenangan serta transformasi daerah yang semestinya mendekatkan berbagai aspek pembangunan pada kehendak rakyat untuk menjangkau sasaran pengentasan kemiskinan menuju pada kesejahteraan rakyat. Dimana salah satu penyebab utama lambatnya pertumbuhan ekonomi daerah ditengarai akibat dari rendahnya produktivitas masyarakat hingga semakin memicu terjadinya perlambatan pada transformasi struktural ekonomi daerah. Hal itu pun akibat kolaborasi para elit pemangku kekuasaan daerah yang menutup akses informasi pengelolaan daerahnya.
Kolaborasi para elit dalam melanggengkan kekuasaan banyak terjadi diberbagai tingkatan kekuasaan, baik di tingkat pusat, di tingkat Provinsi serta kabupaten kota. Dari cara semacam ini akan menimbulkan cost politik yang tinggi sehingga sumber perolehannya pembiayaannya pun mengarah kepada dua hal, apakah menghilangkan proyek-proyek non fisik, atau menerapkan komisi dari bergulirnya proyek-proyek pemerintah yang semestinya zero potongan dari setiap pekerjaan yang diterima para pelaksanan proyek tersebut. Sebab bukan rahasia umum jika harga satuan dari setiap proyek pemerintah jauh lebih tinggi dari taksasi harga apabila dihitung oleh pihak swasta. Maka tak aneh jika para penerima proyek harus mengeluarkan komisi bagi orang dalam hingga berkisar antara 15 ~ 20 persen bagi setiap item pekerjaannya.
Pemberitaan okezone.com tertanggal 28/12/2011 menyebutkan bahwa dana proyek pengadaan barang dan jasa publik yang bersumber dari APBN 2011 yang jumlahnya mencapai Rp 800 triliun diperkirakan 30 persennya atau sekitar Rp 240 triliun telah menguap. Tentu saja hal ini membutuhkan kecermatan pemimpin dari level tingkat masing-masing. Jika hal ini terjadi di masa pemerintahan SBY, namun sikap yang waspada pun ditajamkan pad era Jokowi dengan menerapkan strategi kehati-hatian hingga bersikap tegas pada penyimpangan dan penyalahgunaan anggaran. Melalui Bisnis.com tertanggal 11/12/2018 menjelaskan bahwa Presiden Joko Widodo menyatakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR jangan sampai menguap tanpa hasil.
Berdasarkan laporan Transparansi Internasional Indonesia, selama ini uang rakyat dalam praktek APBN dan APBD menguap sekitar 30-40 persen oleh perilaku korupsi. Modus operandi korupsi yang paling banyak terjadi justru pada pengadaan barang dan jasa yang dilakukan oleh pemerintah. Sehingga dibutuhkan adanya sistem pengawasan yang kuat untuk menjamin uang rakyat tersebut tersalurkan secara tepat guna dan tepat sasaran sebagaimana yang dijelaskan oleh Bamsoet dalam keterangannya, Kamis (9/12/2021). Jika semua berani mengungkapkan berbagai anggaran yang menguap, namun mengapa pemberantasan korupsi dinilai lemah dan lamban. Malah seolah-olah pemerintah begitu khawatir jika banyaknya kasus korupsi yang terungkap justru diartikan sebagai rezimnya yang kurang dalam melakukan pengawasan.
Deretan atas menguapnya anggaran sepertinya tidak habis-habisnya mendera APBN dan APBD yang seakan menjadi kebiasaan bagi para pejabat yang menduduki kekuasaannya. Jika anggaran yang kasat mata seperti proyek-proyek pengadaan dan jasa saja masih terus mengalami kebocoran, bagaimana mungkin ada pihak yang berani memastikan bahwa anggaran subsidi serta bantuan pemerintah lain tidak menguap oleh karena pembiayaannya yang memang dianggarkan untuk menanggulangi kondisi masyarakat yang terdampak pada situasi ekonomi serta tidak pula terlihat bentuk riil untuk dapat dipertanggung-jawabkan. Keseriusan pemberantasan korupsi bukan semata-mata bagian dari kewenangan eksekutif, namun legislatif dan yudikatif pun harus berani menampakkan ketegasannya agar menimbulkan kepastian pada efek jera sesungguhnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

DIBALIK PENOLAKAN UPAYA LABELISASI ISLAM DIBEBERAPA WILAYAH INDONESIA

TOLERANSI INDONESIA
19/02/2023

DIBALIK PENOLAKAN UPAYA LABELISASI ISLAM DIBEBERAPA WILAYAH INDONESIA
Penulis : Andi Salim
Banyak yang meragukan sistem kapitalisme akan menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat kecil. Sebab sistem ekonomi kapitalisme yang berpijak pada pertumbuhan ekonomi semata sehingga membutuhkan arus modal yang kuat bagi siapa pun yang ingin bertahan pada sirkulasi sistem semacam ini, bagi siapa pun yang tidak memiliki modal tentu akan tersingkir dan terlindas selama-lamanya. Apalagi dibalik langkahnya yang menciptakan pola keuangan yang sentralistik bagi para pemainnya yang membutuhkan modal melalui pinjaman perbankan / kredit.
Tentu saja hal itu menciptakan konsekwensi pada pengeluaran ekstra bagi pelaku usaha kecil, sebab selain pokok pinjamannya, mereka pun harus mengembalikan bunga berikut denda-dendanya yang terus mencekik leher hingga pertumbuhan masyarakat kecil semakin tertekan untuk tetap berada ditempat asalnya dan selamanya tetap miskin tergilas oleh beban-beban yang harus dipikulnya. Maka istilah bagi mereka yang kaya tambah kaya dan yang miskin semakin miskin pun tak terhindarkan hingga saat ini.
Disamping itu, pengusaha kaya yang bermodal besar semakin menjadi-jadi dalam menguasai sumberdaya yang ada, mulai dari sumber daya alam yang terus dikeruk bagi kepentingan usahanya, hingga sumber daya manusia yang dijadikan mesin keuntungan pun terus digulung hingga tak bersisa, buntutnya mereka pun masuk pada instrumen politik yang selanjutnya memainkan perannya untuk menguasai regulasi serta merangkul birokrasi demi menguntungkan keberadaan mereka yang terus menerus mengeruk keuntungan tanpa batas.
Tawaran lain pun datang, bahwa pada sistem sosialisme yang percaya bahwa negara dapat menguntungkan masyarakat dan rakyatnya, sebab sistem ini mengatur keadilan bagi masyarakat tanpa syarat. Dimana sistem ini bertumpu pada nilai utama sosialisme yaitu kesetaraan, kerja sama, dan kasih sayang. Segala proses produksi dilakukan atas dasar penggunaan, bukan hanya demi keuntungan bersama. Sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi yang seluruh kebijakan perekonomian ditentukan oleh pemerintah.
Pada sistem ini sentralisasi kebijakan ekonomi oleh pemerintah dilakukan agar bisa menciptakan tujuan pemerataan bagi masyarakat karena sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi yang didasarkan pada kepemilikan publik atau bersama-sama atas alat-alat produksi. Dimana alat-alat produksi tersebut termasuk di dalamnya mesin, perangkat, pabrik, yang digunakan untuk memproduksi barang yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Kaum sosialis yang mengeluhkan bahwa sistem kapitalisme yang mengarah pada konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang tidak adil dimana hanya segelintir orang saja yang muncul sebagai pemenang dari persaingan pasar bebasnya. Namun sistem sosialisme yang dianggap masyarakat sama dengan sistem komunisme dimana pada kedua sistem ini memiliki tujuan untuk memperbaiki masalah yang timbul akibat sistem kapitalisme pasar bebas pun tertolak yang dianggap bahwa keberadaan mereka telah menimbulkan tragedy G30SPKI.
Kini masyarakat dihadapkan pada sistem ekonomi syariah yang merupakan sistem ekonomi bertujuan mengimplementasikan nilai dan prinsip dasar syariah, bersumber dari ajaran agama islam nilai dan prinsip syariah yang berlaku secara universal dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam kegiatan ekonomi dan keuangan. Dimulai dari berdirinya Bank Syariah yang bukan hanya diperuntukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada seluruh umat manusia. Bank Syariah hadir sebagai lembaga keuangan untuk memenuhi kebutuhan bisnis nasabahnya, tanpa membedakan agama, kepercayaan, suku bangsa, warna kulit dan budaya.
Perkembangan dari gagasan itu semakin diperluas untuk menjadikan pariwisata indonesia yang berlabel wisata syariah dari sistem pengelolaan wisata yang berdasarkan pada syariat Islam. Artinya, dalam wisata tersebut tidak akan menyediakan fasilitas yang bertentangan dengan syariat Islam. Buntutnya, perluasan pada gagasan ini mendapat respon beragam dari masyarakat, hal itu terlihat dari gaduh spanduk bertuliskan 'Malang Tolerant City Not Halal City'. Spanduk ini membuat heboh netizen karena terpasang di depan Balai Kota Malang dan sekitarnya. Tentu ini pertanda bahwa sistem ini belum diterima sepenuhnya oleh masyarakat kita.

Pada 5 abad silam, kedamaian beragama sekaligus berbudaya pernah dirintis oleh Sunan Kudus dan para wali lainnya di tanah Jawa. Saat ini upaya tersebut malah cenderung menjadi gagal dipahami untuk membangun sikap toleransi antar umat beragama dan para pelaku seni dan budaya sebagaimana sejarah yang ditorehkan oleh para wali terdahulu. Kehadiran para penggagas syariah islam tersebut lebih dicurigai sebagai upaya membenturkan agama dan budaya, atau malah diartikan masyarakat sebagai penggusuran dan penghilangan dari kearifan lokal ditengah masyarakat yang semestinya terjaga secara utuh.

MELALUI PERAYAAN ISRA MI'RAJ MARI JADIKAN GENERASI DIGITAL ISLAM YANG TANGGUH

TOLERANSI INDONESIA
19/02/2023

MELALUI PERAYAAN ISRA MI'RAJ MARI JADIKAN GENERASI DIGITAL ISLAM YANG TANGGUH
Penulis : Andi Salim
Perubahan jaman dari Era digital yang saat ini berkembang adalah suatu masa yang sudah mengalami pertumbuhan dalam segala aspek kehidupan yang menjadi segala sesuatu menjadi mudah. Perkembangan era modern ini juga terus berjalan tanpa bisa dihentikan dibalik keberadaannya yang sedikit mengkhawatirkan, namun sebenarnya masyarakat sendiri yang meminta dan menuntut agar segala sesuatunya menjadi lebih praktis dan efisien.
Akan tetapi tentu ada dampak negatif yang akan diterima khususnya dari begitu mudahnya akses untuk mendapatkan sesuatu baik informasi atau barang yang tersedia secara praktis tersebut. Dampak negatif yang bisa terjadi dalam perkembangan teknologi komunikasi. Kemajuan teknologi komunikasi yang ada sekarang justru menurunkan semangat juang bagi sebagian orang. Karena segalanya terasa begitu terbuka, apalagi terdapat fitur yang kurang pantas untuk dikonsumsi anak-anak.
Walau ada filter untuk memproteksi guna menghalangi akses anak-anak guna mwngkonsumsinya, namun terdapat pihak lain yang juga menyediakan fitur lain yang menerjang untuk memperoleh akses yang menuju kearah sana. Tentu saja hal ini mencemaskan para orang tua, disisi lain hal itu dikhawatirkan meningkatnya kasus pemerkosaan dan penyimpangan seksual serta penipuan yang semakin berkembang diberbagai daerah dengan sasaran remaja sebagai objeknya.
Namun objektifitas era digital saat ini bukanlah sekedar menghitung dampak negatifnya saja, sebab iklim persaingan juga merupakan bagian dari wujud kehadirannya pada masa ini, dimana ketidak mampuan mengakses dan menjangkau informasi yang luas adalah bagian persoalan terpenting yang harus diselesaikan pula. Apalagi banyak dari generasi muda kita yang mengalami kemajuan secara individu justru dengan mengakses teknology dan memanfaatkan kemudahan fasilitas yang tersedia sebagai cara memperoleh usaha baru serta berhasil dibidangnya.
Dunia Islam perlu merespon ini secara cepat dan terukur, jika tidak, maka generasi muda Islam akan tenggelam pada kelamnya pengaruh negatif yang akan menelannya secara massal oleh karenanya kegiatan syi'ar yang manual dan terkesan usang serta lemot itu harus segera di upgrade dan dirubah demi adjusment era dari jaman yang mengalami perubahan yang cepat dan pesat ini. Sehingga forum dakwah yang semula mengandalkan informasi dari sepihak, kini menjadi interaktif dan pembahasannya yang komprehensive pula tentunya.
Sebab jika pola dakwah yang dahulu tidak mudah untuk memperoleh perbandingan informasi dan pengetahuan dari wawasan para pendakwahnya, maka kini hal itu menjadi suasana yang terkompetisi untuk ditelanjangi dan terbuka secara publik, sehingga apabila kemampuan pendakwahnya tidak segera di upgrade, akan mudah terbaca dan ditangkap sebagai kelemahan bagi generasi muda yang kritis hal itu dikarenakan mereka dipersenjatai tekhnologi yang sangat mapan pada generasinya.

Tujuan penulis tidak lain adalah demi merespon demikian pentingnya akselerasi dan penyesuaian pada iklim digital yang berkembang saat ini, semoga peringatan Isra mi'raj kali ini membawa harapan bagi generasi Islam Indonesia yang berkemajuan dan landing pada suasana globalisasi yang menuntut eksistensi dan modernitas yang terus mengalami perubahan. Selamat merayakan Isra mi'raj, semoga Allah SWT merahmati kita semua. Aamiin.

KEKUATAN BANGSA ITU TERLETAK PADA SIKAP NASIONALISME RAKYATNYA

TOLERANSI INDONESIA
19/02/2023

KEKUATAN BANGSA ITU TERLETAK PADA SIKAP NASIONALISME RAKYATNYA
Penulis : Andi Salim
Dewasa ini semakin banyak orang yang terseret pada pemikiran yang irasional, dari persoalan hidup yang menghimpit hingga kebodohan yang tak kunjung keluar dari tempurung yang menutupi selimut kelam untuk melihat persoalan melalui berfikir rasional. Berpikir secara rasional adalah kemampuan untuk mempertimbangkan aspek dan menganalisis relevansi informasi yang berhubungan dengan keadaan atau suatu kejadian, baik yang berupa fakta atau pun hal-hal yang terkait dari kemungkinan yang akan terjadi.
Narasi yang berhamburan dari mereka yang menyesakkan publik saat ini sungguh menjadi persoalan kita bersama, sebab betapa ricuhnya permasalahan ini sehingga masyarakat seakan berbondong-bondong menyetujui pernyataan yang menyesatkan itu. jika hal ini terus dibiarkan tentu akan membahayakan persatuan dan runtuhnya toleransi kebangsaan ditengah kita semua. Dimana individu yang termakan oleh para penghasut dan pemberitaan Hoaks itu hanya mengandalkan keyakinan tanpa melandasinya dengan rasionalitas berfikir.
Sandaran pada keilmuan atau fakta ilmiah yang semestinya dapat dipegang melalui keakurasian data dan fakta jika diukur pada skala metode atau penelitian yang memiliki kaidah kebenaran empiris tentu tidak boleh diabaikan begitu saja. Sebab bukti empiris merupakan suatu sumber pengetahuan yang diperoleh dari observasi atau percobaan atau penelusuran informasi yang membenarkan suatu keadaan, termasuk dalam kaitannya dengan kepercayaan dalam mencapai kebenaran atau kebohongan dari suatu klaim.
Apalagi terkait hal yang baru-baru ini mengenai Keputusan pemerintah melalui pernyataan yang disampaikan menteri agama mengenai pembatalan keberangkatan jemaah haji Indonesia dimana pernyataan itu telah mendapat dukungan dan dinilai tepat oleh beberapa kalangan di antaranya dari DPR RI melalui Komisi VIII, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah.
Namun seiring dengan keputusan itu, kesalahpahaman dan pemberitaan yang tidak sesuai dengan fakta pun muncul dan menyebar melalui berbagai media khususnya media sosial. Berita bohong atau hoaks pun menyebar terkait persoalan haji Indonesia yang memang bagi sebagian kalangan tentu menjadi kebijakan yang mengecewakan dan dapat menyulut rasa kebencian terhadap pemerintah dan bisa memicu reaksi serta kritik publik.
Belum lagi hal lain dari segudang isu yang tak tentu arah bahkan tak sedikit pula melibatkan para pakar dan tokoh intelektual kita yang ikut masuk pada pusaran semu yang terkait pada isu pelemahan KPK yang saat ini bergulir. Sedikitnya, 77 ekonom menandatangani surat terbuka yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo, yang pada intinya, surat terbuka yang dikatakan menolak berbagai bentuk upaya pelemahan lembaga anti korupsi tersebut. Walau dibalik itu, mereka seakan mengabaikan begitu saja perilaku penyidik KPK yang menyimpang dari tupoksinya.
Padahal begitu banyak dugaan negatif yang selama ini menerpa institusi KPK dan terjadinya pembangkangan dari pihak penyidiknya yang bersekongkol didalam Wadah Pegawai KPK terhadap kebijakan yang ditetapkan oleh ketua KPK yang selama ini tidak diketahui publik. Disamping itu masih terdapat isu pemerasan yang dilakukan oleh oknum penyidik KPK terhadap para pelaku korupsi sehingga menghalangi proses penyelidikan dan pengungkapan kasus-kasus korupsi yang ditanganinya. Dari hal itu, tentu saja KPK tidak akan pernah mencapai perolehan pengembalian kerugian negara secara optimal.
Sebagaimana yang dibeberkan oleh Fachri Hamzah yang menyampaikan bahwa lembaga KPK lebih memperlihatkan kultur politik dari seringnya lembaga ini berkomentar pada hal-hal yang bersifat politis, dari pada sebagai lembaga penegakan hukum. Serta menyambung dari cerita ini pun dapat pula kita kaitkan mengapa Prof DR Romli Atmasasmita yang menyampaikan bahwa ICW memperoleh dana donor asing Non Goverment Organization atau NGO senilai 96 milyar melalui KPK, tentu saja hal itu menjadi kecurigaan masyarakat mengapa ICW begitu semangatnya dalam membela WP KPK saat ini.
Apa-apa yang selama ini disampaikan oleh kaum intoleran sesungguhnya bukan kritik membangun, akan tetapi kebohongan yang disuarakan kepada masyarakat untuk menyesatkan cara berfikir demi melunturkan sikap nasionalisme untuk selanjutnya menjadi kelemahan bangsa kita, sebab NKRI ini hanya terjaga dan kokoh jika rakyatnya mencintai ideology Pancasila yang diyakini sakti oleh karena dapat meresap bagi segenap anak bangsa, namun kalau hal ini terus menerus digoyahkan, maka tentu saja akan runtuh yang pada akhirnya tidak ada lagi yang mempertahankannya.
Saat ini mereka semakin dibiarkan berbicara dan menyampaikan opini yang menyesatkan secara terbuka tanpa tersentuh hukum sedikit pun, baik dari mimbar-mimbar yang memang mereka miliki dan kuasai atau pun dari ruang-ruang pemerintah dan BUMN serta BUMD dimana kroni mereka telah duduk disana dan membaur pada pejabat atau aparat negara yang tidak lagi memiliki wawasan kebangsaan sebagaimana yang ditemukan dari hasil test sebanyak 75 orang yang tidak lolos TWK KPK kemaren.

JANGAN PERNAH BERKHIANAT TERHADAP BANGSA DAN NEGARA

TOLERANSI INDONESIA
20/02/2023

JANGAN PERNAH BERKHIANAT TERHADAP BANGSA DAN NEGARA
Penulis : Andi Salim
Pembelaan terhadap bangsa dan negara semestinya dimiliki semua golongan dan elemen bangsa ini, walau disadari bahwa dalam upaya mencapai tujuan kesejahteraan melalui pembangunan masyarakat sering terjadi perbedaan, apalagi dasar-dasar pemikiran, cara serta bagaimana merumuskan konsep pembangunan itu memiliki landasan yang berbeda pula. Namun, setiap peserta kontestasi demokrasi seharusnya menyepakati bahwa Pancasila dan UUD45 adalah bagian pokok yang melandasi setiap tujuan serta visi dan misi dari kepesertaan mereka untuk menjaga koridor nasional diberbagai kontestasi pemilu yang di ikutinya.
Agenda terselubung dari mereka yang ingin menggantikan pancasila dan UUD45 merupakan bentuk pengingkaran terhadap bangsa dan negara. Sebab pada satu sisi mereka menikmati untuk mengambil peluang dalam keikutsertaannya mengikuti aturan konstitusi yang mengatasnamakan rakyat selaku warga bangsa, namun pada bagian lain mereka justru menampakkan kebijakan politik identitasnya untuk merubah segala haluan konstitusi kita demi sasaran yang di inginkannya. Disinilah masyarakat harus memahami bahwa terdapat perbedaan yang tajam antara pengertian identitas politik dengan politik identitas yang kini marak beredar dimana-mana.
Identitas politik merupakan konstruksi yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas politik. Sehingga kepesertaan seseorang dalam suatu organisasi memiliki kejelasan tentang apa dan bagaimana peran dan fungsinya yang terikat pada aturan organisasi yang diikutinya untuk mencapai tujuan secara bersama-sama dengan peserta lain yang tergabung kedalam suatu organisasi. Hal ini dapat diumpamakan seseorang yang mengaku dirinya merupakan anggota suatu partai yang di ikutinya. Itulah identitas politik seseorang yang diakui secara sah dan dibenarkan.
Sedangkan politik identitas mengacu pada mekanisme pengorganisasian identitas sebagai sumber dan sarana politik. Sehingga tujuan dan gerakannya cenderung menggunakan sarana-sarana identitas seperti agama, suku serta kultur sosial lainnya. Karenanya politik identitas selalu diwarnai konflik baik yang bersifat frontal maupun yang dialektik. Dimana politik identitas selalu ada dalam wilayah ketegangan antara superioritas dan inferioritas. Termasuk antara mayoritas dan minoritas. Maka tak heran jika politik identitas selalu dituding sebagai pemecah belah tatanan berbangsa dan bernegara pada akhirnya.
Kegagalan partai-partai politik sering dituding sebagai penyebab naiknya politik identitas oleh karena mereka tidak mampu mengambangkan politik ide dan gagasan sekaligus mengentaskannya pada program-program melalui berbagai sumber kewenangan pasca kemenangan pemilu yang diperolehnya. Mereka disinyalir hanya sibuk memperkuat domain internalisasi partai yang bersifat penghayatan serta doktrinasi terhadap nilai-nilai perjuangan sebagai bentuk penyadaran terhadap anggotanya untuk mewujudkan sikap dan perilaku mereka hingga memakan waktu dan perjalanan partai yang begitu panjang sejak partai tersebut dilahirkan.
Bahkan hingga kini, tidak satu pun partai politik yang dipercaya memiliki politik ide dan gagasan yang secara nyata dapat diharapkan masyarakat. Bahwa tujuan partai politik untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara Indonesia semestinya bagian yang tak terelakkan dari keberadaan mereka. Sebab hanya melalui partai politik rakyat dapat mewujudkan haknya untuk menyatakan pendapat termasuk bagaimana hak kesejahteraan mereka dapat diperoleh. Bukankah mekanisme kekuasaan apapun menjadi bagian dari perjuangan sebuah partai politik.
Akan tetapi pada faktanya, meskipun partai-partai politik itu digabungkan kedalam suatu Koalisi, nyatanya masyarakat tidak pula menjadi bagian pokok terpenting dalam platform pemikiran yang mereka tuangkan. Dimana dari apa yang mereka ungkapkan dalam berbagai kesepakatan perjanjian koalisinya pun hanya bersifat uraian normatif yang tidak secara radikal untuk melakukan pengentasan kemiskinan rakyat sesungguhnya. Hanya keberuntungan saja jika Presiden Jokowi saat ini secara sadar diri memperlihatkan antusiasnya pada pembangunan bangsa dan negara sekaligus mendekati apa yang diharapkan rakyat Indonesia sepenuhnya.
Lantas pertanyaan pun timbul, bagaimana dengan pemimpin sebelum era Jokowi berkuasa, tidakkah partai-partai politik itu lebih memilih diam seolah-olah membiarkan lambannya kemajuan bangsa ini yang selama 10 tahun pada pemerintahan SBY hingga dianggap abai bukan saja terhadap nasib rakyat, namun berdampak pada stagnasi kemajuan Indonesia dikancah Internasional. Partai politik pun turut pula menjadi bungkam serta tak mampu berbuat apapun guna mencegah kerugian negara dari kebijakannya yang membakar subsidi demi kelanggengan kekuasaannya selama 2 periode tersebut. Termasuk menguatnya kelompok intoleransi saat ini, dimana cikal bakalnya diduga datang melalui keleluasaan akibat pembiaran kelompok-kelompok ini berkembang.
Apalagi pasca berakhirnya masa jabatan beliau menyisakan tanggungan Utang Luar Negeri yang masih tersisa, serta proyek mangkrak yang tak sedikit jumlahnya. Ditambah lagi bolongnya modal kerja perusahaan BUMN itu yang nyaris mengalami kebangkrutan dan tak lagi mampu menopang kegiatan usahanya sekiranya tidak disikapi kebijakan pemerintah saat ini untuk memperoleh proyek-proyek strategis hingga menghidupkan mereka kembali sebagaimana surplusnya pendapatan dan laba yang diraih beberapa BUMN, padahal kemarin mereka justru terlihat mati suri serta hanya bergantung pada suntikan Penyertaan Modal Negara untuk menyehatkan mereka kembali. Inilah perenungan kita sesungguhnya.
Semoga tulisan ini bermanfaat.

BUDAYA DAN AGAMA BUKANLAH HAL YANG SEPATUTNYA DIPERTENTANGKAN

TOLERANSI INDONESIA

20/02/2023

BUDAYA DAN AGAMA BUKANLAH HAL YANG SEPATUTNYA DIPERTENTANGKAN
Penulis : Andi Salim
Banyak pihak yang bingung bagaimana cara menangkal isu kandungan dari dua variabel kebenaran yang sengaja dibenturkan antara satu dengan lainnya, tanpa melihat objektifitas dimana kebenaran itu harus didudukkan agar ditempatkan sebagai kebenaran hakiki sehingga segalanya bisa menuju kepada kemaslahatan umat.
Nilai kebenaran tentu harus diuji pada sisi mana kebenaran itu memiliki derajat yang lebih tinggi, serta lebih luas pula pada kandungan kebaikannya, pendapat dan pandangan mengenai hal ini harus dituangkan pada rentang peristiwa vertikal dan horizontal dalam pengungkapannya, hingga menjadi logis dan ilmiah.
Banyak masyarakat negeri ini yang belum membelah dan membedah dimana dan bagaimana suatu agama itu dapat berkembang, serta pada wilayah yang mana budaya bangsa itu memiliki otorisasi yang tidak boleh dicampuri oleh urusan agama yang menjadi pegangan umat sekalipun.
Sebab beragama merupakan pilihan bagi masyarakat bagi setiap warga bangsa, dari kesediaannya untuk memilih terhadap agama yang telah disediakan oleh negara, atau bahkan mereka malah lebih memilih menjadi atheis sekalipun terdapat beberapa pilihan yang dimungkinkan. Itulah sebuah kebebasan yang sejatinya dipegang teguh oleh kedudukan apa pun untuk saling menghormati.
Tidak ada yang boleh dan dapat memaksakan keyakinan apa yang seharusnya dipeluk seseorang. Hal itu memang bersifat privasi serta menjadi hak azasi manusia pula. Bahkan dalam konteks bagi para pemeluk keyakinan atau agama tertentu, manusia atau seseorang pun masih dipersilahkan untuk memilih, apakah dirinya menghendaki pilihan menuju jalan ke neraka atau ke surga sebagai destinasi akhirnya.
Bagaimana pun tugas agama itu hanyalah sebatas memberikan petunjuk dari apa yang sepatutnya diketahui oleh umat manusia. Maka, meskipun petunjuk itu datang, akan tetapi jika manusianya tidak menjalankan perintah agama sebagaimana pemahaman dari petunjuk yang telah diterimanya, sudah barang tentu ia akan disebut sebagai penghuni neraka juga pada akhirnya.
Namun bukan disana sebenarnya letak persoalan yang akan menjadi titik fokus penulisan ini, kita semua sering selalu tertuju pada bagaimana mencapai goals yang di inginkan. Bahkan acapkali lebih mengutamakan segala sesuatunya pada tujuan akhir saja, tanpa melihat bagaimana proses mencapai final dari sebuah proses itu sendiri.
Diumpamakan seperti menjalankan suatu usaha, maka kita sering hanya memfokuskan diri untuk bagaimana memperoleh keuntungan dari usaha itu saja, bukan pada proses bagaimana proses keuntungan itu diperoleh secara baik serta bersifat kontinyu yang bisa didapat secara terus menerus.
Walau dalam cara dan strateginya berbeda, seseorang bisa saja menabrak nilai-nilai kebaikan dan kepatutan guna menggapai apa yang di inginkannya, hal itu semata-mata demi mencapai goals akhir dari keuntungan yang diharapkannya. Sama halnya ketika seseorang hanya fokus untuk mengarahkan segala perbuatannya yang ditujukan kepada tuhan semata.
Padahal sudah dijelaskan bahwa kebaikan seseorang itu dilihat dari bagaimana dia berhubungan baik dengan dan kepada antar sesamanya, akan tetapi justru secara shortcut hal itu malah dianggap kurang penting dari pada memperdulikan fokus dirinya kepada tuhan itu sendiri. Sehingga hubungan antar manusia dan cenderung diabaikan.
Bahkan demi keyakinan itu, seseorang akan menafikan kemanusiaannya untuk memfokuskan diri dan perbuatannya yang hanya ditujukan kepada tuhan semata. Dengan kata lain tidak lagi perduli kepada antar sesama manusia, sekalipun hal itu bagian dari seruan tuhannya.
Terdapat sebuah karya tulisan dari Habib Ali al-Jufri yang pernah menulis sebuah buku berjudul al-Insaniyyah qabl at-Tadayyun (kemanusiaan sebelum keberagama-an). Dimana inti pada penulisannya yang berisikan pemahaman dalam menjelaskan bahwa agama dan kemanusiaan yang merupakan unsur sejalan, mengingat misi utama agama adalah kemanusiaan itu sendiri.
Dengan demikian, keberagama-an ini berkaitan erat dengan interpretasi atau pemahaman seseorang terhadap ajaran-ajaran agama yang tertuang dalam sebuah kitab suci. Oleh karenanya, kita memerlukan pemahaman dan moderasi beragama yang merupakan cara pandang dalam suatu ajaran yang secara moderat dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama itu dengan tidak secara ekstrem, baik ekstrem kanan (diartikan sebagai pemahaman agama yang sangat kaku) maupun ekstrem kiri (diartikan sebagai pemahaman agama yang sangat liberal).
Menteri Agama RI tahun 2018, Lukman Hakim Saifuddin pernah menyatakan bahwa agama dan budaya di Indonesia tidak semestinya saling menghancurkan satu sama lainnya. Menurut Lukman, keduanya telah memiliki sejarah panjang dalam pembentukan jati diri bangsa Indonesia sehingga tidak perlu dipertentangkan.
Menteri Agama saat ini Yaqut Cholil Qoumas pun telah menerbitkan surat edaran yang mengatur penggunaan pengeras suara atau toa di masjid dan mushala. Pada aturan ini terdapat hal yang diterbitkan salah satunya untuk meningkatkan ketentraman, ketertiban, dan keharmonisan antar warga. Adapun aturan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No SE 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Mushala.
Dinyatakannya bahwa pengeras suara itu sesungguhnya bukan merupakan bagian dari sunnah yang dapat mendatangkan pahala bagi siapa pun yang menggunakannya. Tidak semua yang dimaksudkan baik itu sudah barang tentu benar, begitu pula sebaliknya, tidak semua kebenaran itu menjadi seiring pada kebaikan bagi seseorang.
Walau secara hakekat hal itu mungkin saja terjadi dan memiliki pengertian yang sama. Sebab di jaman nabi Muhammad saw sendiri, tidak ada fasilitas pengeras suara, jadi hal itu pun bukan menjadi bagian dari apa yang disunnahkannya. tentu hal ini semestinya tidak berdampak pada pahala jika mengerjakannya dan tidak pula berdosa jika meninggalkannya.
Disadari bahwa agama merupakan segala sesuatu yang didapat atau bersumber dari Tuhan melalui perantaranya, sedangkan kebudayaan merupakan segala sesuatu yang diciptakan atau produk (cipta, rasa, karsa) dari manusia. Meskipun timbulnya dari kondisi yang berbeda, sebab agama dan kebudayaan tetaplah berkaitan dan memiliki relasi yang kuat bagi kehidupan sosial kemanusiaan.

Upaya untuk tidak menghadap-hadapkannya, atau mempertentangkan antara budaya dan agama adalah bagian dari kemaslahatan. Toh jika budaya itu haram, Wali songo tentu lebih memahami akan situasi dan kondisi ini yang sejak dahulu kala semestinya tidak menggunakan wayang sebagai syiar dari caranya menyebarkan agama di Nusantara yang kita cintai ini tentunya.

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH

TAHUN POLITIK MEMPENGARUHI TURUNNYA KINERJA PEMERINTAH Penulis : Andi Salim 05/06/2023 Apa yang terbersit di pikiran masyarakat ketika memas...